Sunday 12 October 2014

PENGERTIAN HUKUM AGRARIA DAN HUKUM TANAH

BAB I

PENGERTIAN HUKUM AGRARIA

DAN

HUKUM TANAH

A.    Pengertian Agraria
Istilah agrarian berasal dari kata Akker (Bahasa Belanda), Agros (Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, Agger (Bahasa Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, Agrarius (Bahasa Latin) berarti perladangan, persawahan, pertanian, Agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian.

Dalam Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, disahkan tanggal 24 September 1960, yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tidak memberikan pengertian Agraria, hanya memberikan ruang lingkup agrarian sebagaimana yang tercantum dalam konsideran, pasal-pasal maupun penjelasannya. Ruang lingkup Agraria menurut UUPA meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya..
Ruang lingkup agraria/sumber daya agraria/sumber daya alam dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Bumi
Pengertian bumi menurut Pasal 1 ayat (4) UUPA adalah permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi menurut Pasal 1 ayat (4) UUPA adalah tanah.

2. Air
adalah air yang berada di perairan pedalaman maupun air yang berada di laut wilayah Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, disebutkan bahwa pengertian air meliputi air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terfapat di atas maupun yang terdapat di laut.

3. Ruang Angkasa
ruang angkasa adalah ruang di atas bumi wilayah Indonesia dan ruang di atas air wilayah Indonesia. Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 48 UUPA, ruang di atas bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan itu.

4. Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi di sebut bahan, yaitu unsure-unsur kimia, mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam

Pengertian agraria dalam arti sempit, hanyalah meliputi permukaan bumi yang disebut tanah, sedangkan pengertian agraria dalam arti luas adalah meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pengertian tanah yang dimaksudkan disini buka dalam pengertian fisik, melainkan tanah dalam pengertian yuridis, yaitu hak. Pengertian agraria yang dimuat dalam UUPA adalah pengertian UUPA dalam arti luas.
B.    Pengertian Hukum Agraria
Boedi Harsono menyatakan Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum. Hukum agraria merupakan satu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masaing mengatur hak-hak pengusaan sumber –sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian agraria. Kelompok berbagai bidang hukum tersebut terdiri atas:

1. Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti permukaan bumi.
2. Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air.
3. Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh Undang-undang Pokok Petambangan.
4. Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air.
5. Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam Ruang Angkasa,  mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa.Hukum agraria dari segi objek kajiannya tidak hanya membahas tentang bumi dalam arti sempit yaitu tanah, akan tetapi membahas juga tentang pengarian, pertambangan, perikanan, kehutanan dan penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa.
C.    Pembidangan dan Pokok Bahasan hukum Agraria
Secara garis besar, Hukum Agraria setelah berlakunya UUPA dibagi menjadi 2 bidang, yaitu:

1. Hukum Agraria Perdata (Keperdataan)
Adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang bersumber pada hak perseorangan dan badan hukum yang memperbolehkan, mewajibkan, melarang diperlakukan perbuatan hukum yang berhubungan dengan tanah (objeknya).
Contoh: jual beli, hak atas tanah sebagai jaminan hutang (Hak Tanggungan), pewarisan.

2. Hukum Agraria Administrasi (Administratif)
Adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang member wewenang kepada pejabat dalam menjalankan praktek hukum Negara dan mengambil tindakan dari masalah-masalah agraria yang timbul.
Contoh: pendaftaran tanah, pengadaan tanah, pencabutan hak atas tanah.

Sebelum berlakunya UUPA, Hukum Agraria di Hindia Belanda (Indonesia) terdiri atas 4 perangkat hukum, yaitu:
1. Hukum Agraria Adat
Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada Hukum Adat dan berlaku terhadap tanah-tanah yang dipunyai dengan hak-hak atas tanah yang diatur oleh Hukum Adat, yang selanjutnya seiring disebut tanah adat atau tanah Indonesia.

2. Hukum Agraria Barat
yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada Hukum Perdata Barat, khususnya yang bersumber kepada Boergerlijk Wetboek (BW).

3. Hukum Agraria Administratif
Yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan atau putusan-putusan yang merupakan pelaksanaan dari politik agraria pemerintah didalam kedudukannya sebagai badan penguasa..

4. Hukum Agraria Antar Golongan
Hukum yang digunakan untuk sengketa (kasus) agraria (tanah), maka timbulah Hukum Agraria Antar Golongan, yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang menentukan hukum manakah yang berlaku (Hukum Adat atau Hukum Barat apabila 2 orang yang masing-masing tunduk pada hukumnya sendiri-sendiri bersengketa mengenai tanah).

Kelima perangkat Hukum Agraria tersebut, setelah Negara Indonesia merdeka, atas dasar Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dinyatakan masih berlaku selama belum diadakan yang baru. Hanya saja Hukum Agraria Administratif yang tertuang dalam Agrarische Wet dan Agrarische Besluit tersebut diganti oleh Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Hukum Agraria Administratif mengenai pemberian izin oleh pemerintah.
Dilihat dari pokok bahasannya (objeknya), Hukum Agraria Nasional dibagi menjadi 2, yaitu:
1.    Hukum Agraria dalam arti sempit
Haknya membahas tentang Hak Penguasaan Atas Tanah, meliputi hak bangsa Indonesia atas tanah, hak menguasai dari negara atas tanah, hak ulayat, hak perseorangan atas tanah.

2.    Hukum Agraria dalam arti luas
Materi yang dibahas yaitu:

  • Hukum Pertambangan, dalam kaitannya dengan Hak Kuasa Pertambangan.
  • Hukum Kehutanan, dalam kaitannya dengan Hak Penguasaan Hutan
  • Hukum Pengairan, dalam kaitannya dengan Hak Guna Air
  • Hukum Ruang Angkasa, dalam kaitannya dengan Hak ruang Angkasa
  • Hukum Lingkungan Hidup, dalam kaitannya dengan tata guna tanah, Landreform
D.    Pengertian Hukum Tanah
Effendi Perangin menyatakan bahwa Hukum Tanah adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga hukum yang hubungan-hubungan hukum yang konkret.

Objek Hukum Tanah adalah hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud hak penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemenang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi criteria atau tolak ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.
Hirarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional adalah:
1. Hak Bangsa Indonesia atas tanah
2. Hak menguasai dari Negara atas tanah
3. Hak ulayat masyarakat atas hukum adat
4. Hak-hak perseorangan, meliputi:
  • Hak-hak atas tanah
  • Wakaf tanah hak milik
  • Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan)
  • Hak Milik atas satuan rumah susun
Dalam kaitannya dengan hubungan hukum antara pemegang hak dengan hak atas tanahnya, ada 2 macam asas dalam Hukum Tanah, yaitu:
1. Asas Perletakan
Dalam asas ini, bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah merupakan satu kesatuan; bangunan dan tanaman tersebut bagian dari tanah yang bersangkutan. Hak ataa tanah dengan sendirinya, karena hukum meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah yang dihaki, kecuali kalau ada kesepakatan lain dengan pihak yang membangun atau menanamnya.

2.  Asas Pemisahan Horizontal
Dalam asas ini, bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah bukan merupakan bagian dari tanah. Hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.




SIFAT DAN RUANG LINGUP HUKUM AGRARIA
Politik hukum pertanahan pada jaman HB dengan asas Domein dan Agrarische Wet ditujukan untuk kepentingan Pemerintah Jajahan dan Kaula Negara tertentu yang mendapat prioritas dan fasilitas dalam bidang penguasaan dan penggunaan tanah sedangkan golongan bumi putra kurang mendapatkan perhatian dan perlindungan.

Menurut Agrarische Wet pemerintah HB bertindak sama kedudukannya dengan orang, tampak adanya campur tangan pemerintah dalam masalah agraria pada umunya, sedangkan setelah Indonesia merdeka pemerintah bertindak selaku penguasa.

Hukum agraria Negara RI bertujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat untuk menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 45 (Pasal 33 ayat 3).
UU No. 5 Tahun 1960 mengatur:

1. Hubungan hukum antara bangsa Indonesia dengan  (bumi, air, ruang udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) yang terkandung di dalamnya.
2. Hubungan hukum antara negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia dengan Bumi air dan udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Atas dasar hak menguasai tersebut maka negara dapat:
a. Menentukan bermacam-macam hak atas tanah
b. Mengatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
c. Membuat perencanaan/planning mengenai penyediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
d. Mencabut hak-hak atas tanah untuk keperluan kepentingan umum.
e. Menerima kembali tanah-tanah yang:
1) ditelantarkan
2) dilepaskan
3) subyek hak tidak memenuhi syarat
f. Mengusahakan agar usaha-usaha di lapangan agraria diatur sedemikian rupa sehingga meningkatkan produksi dan kemakmuran rakyat.

Tujuan diberikannya hak menguasai kepada negara ialah: untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Hak negara untuk menguasai pada hakekatnya memberi wewenang kepada negara untuk: mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan BARA+K.

3. Hubungan antara orang baik sendiri-sendiri dan badan hukum dengan BARA+K yang terkandung di dalamnya.Yang dimaksud dengan hak atas tanah ialah: “Hak yang memberikan wewenang untuk mempergunakan permukaan bumi atau tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk keperluan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut UU ini dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.


Menurut UUPA
Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang bertujuan:

1.Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional
2.Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan
3.Meletakkan dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat.

Berdasarkan tujuan pembentukan UUPA tersebut maka seharusnyalah kaidah-kaidah hukum agraria dibicarakan oleh suatu cabang ilmu hukum yang berdiri sendiri, yaitu cabang ilmu hukum agraria. Menurut Prof Suhardi, bahwa untuk dapat menjadi suatu cabang ilmu harus memenuhi persyaratan ilmiah yaitu:
1.Persyaratan obyek materiil
Yaitu bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
2.Persyaratan obyek formal
Yaitu UUPA sebagai pedoman atau dasar dalam penyusunan hukum agraria nasional

Berdirinya cabang ilmu hukum agraria kiranya menjadi sebuah tuntutan atau keharusan, karena:
1. Persoalan agraria mempunyai arti penting bagi bangsa dan negara agraris.
2. Dengan adanya kesatuan/kebulatan, akan memudahkan bagi semua pihak untuk mempelajarainya.Disamping masalah agraria yang mempunyai sifat religius, masalah tanah adalah soal masyarakat bukan persoalan perseorangan

Hak-hak Penguasaan atas Tanah
Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dapat dipakai dalam arti fisik
Dan yuridis . Juga berapekperdata dan beraspek public Dalam UUD 1945 dan UUPA pengertian “dikuasai” dan “menguasai”
dipakai dalam aspekpublik, seperti yang dirumuskan dalam pasal 2 UUPA.
Hierarkhi hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional kita,
yaitu:
1.Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam pasal 1, sebagai hak
penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik;
2.Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam pasal 2, semata-mata
beraspek publik;
3.Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam pasal 3,
beraspek perdata dan publik;
4.Hak-hak perorangan/individual, semuanya beraspek perdata, terdiri
atas:

a.Hak-hak atas Tanah (pasal 4) sebagai hak-hak individual yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, yang berupa :
                  - primer : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
yang diberikan oleh Negara, dan Hak Pakai, yang diberikan oleh Negara (Pasal 16)
                - sekunder : Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, yang diberikan oleh pemilik tanah, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi-Hasil, Hak Menumpang, Hak Sewa dan lain-lainnya (pasal 37,41 dan 53)
b.Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah
diwakafkan pasal 49;

c.Hak Jaminan atas Tanah yang disebut “Hak
Tanggungan” dalam pasal 25, 33, 39 dan 51.

Pengertian Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan, yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda-buktinya dan pemeliharaannya.
2. Kegiatan Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah untuk pertama kali (“initial registration”) meliputi
tiga bidang kegiatan, yaitu:
1. bidang fisik atau “teknis kadastral”
2. bidang yurudis dan
3. penerbitan dokumen tanda-bukti hak.
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali (“initial registration”) dapat
dilakukan melalui 2 cara, yaitu secara sistematik dan secaras poradik.
Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak, yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan. Umumnya prakarsanya datang dari Pemerintah. Contoh pendaftaran tanah secara sistematik adalah yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 3 tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah Secara Sistematik.
Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan secara individual atau massal, yang dilakukan atas permintaan pemegang atau penerima hak atas tanah yang bersangkutan.
 Sistem Pendaftaran Tanah  
Ada dua sitem pendaftaran tanah, yaitu sistem pendaftaran akta (“registration of deeds”) dan sistem pendaftaran hak (“registration of titles”. Title dalam arti hak)
4. Konsepsi Hukum Tanah Nasional  Tanah berfungsi sosial. Rumusan konsepsinya komunalistik religius sifatnya ditunjukan oleh pasal 1 ayat 2. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Pernyatan ini menunjukan sifat Komunalistik konsepsi hukum Tanah Nasional kita. Bahwa
5. Hak Penguasaan Atas Tanah
Hak-hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengna tanah yang dihaki.
Macam-macam hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah
Nasional
6. Pertimbangan
diadakannya
empat macam hak atas tanah primer Pada hakikatnya pemakaian tanah itu hanya terbatas untuk 2 tujuan. Pertama untuk di-usahakan, kedua tanah dipakai sebagaitempat membangun sesuatu. Hak Pakai dengan sebutan nama Hak Milik Hak Milik pada dasarnya diperuntukan khusus bagi wargnegara Indonesia saja yang berkewarganegaraan tumggal.

Dalam Pasal 20 UUPA dinyatakan bahwa Hak Milik adalah hak atas tanah yang “terkuat dan terpenuh”. Dijelaskan dalamPenjelas an pasal tersebut, bahwa maksud pernyataan itu adalah untuk menunjukan, bahwa di antara hak-hak atas tanah Hak Miliklah yang “ter”-(dalam arti “paling”) kuat dan “ter” –penuh. Yaitu mengenai tidak adanya batas waktu penguasaan tanahnya dan luas lingkup penggunaannya, yang meliputi baik untuk diusahakan ataupun digunakan sebagai tempat membangun sesuatu.
Hak Pakai dengan sebutan nama Hak Guna Usaha dan Hak Guna
Bangunan
Hak Guna Usaha yang memberi kewenangan memakai tanah untuk
diusahakan. Hak Guna Bangunan memberi kewenangan untuk
membangun sesuatu di atasnya.
Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan sebagai ditentukan dalam UUPA jangka waktu berlakunya dibatasi, dan dapat diberikan selain kepada warganegara Indonesia, juga kepada badan-badan hukum Indonesia, baik yang bermodal nasional, asing maupun paputungan.
Hak Pakai dengan sebutan nama Hak Pakai
Hak pakai yang keempat diberi kekhususan sifat atauperuntukan







 LATAR BELAKANG
Salah satu problematik yang di hadapi pemerintah dewasa ini muncul "kembali " persoalan pertanahan/ agraria dalam wujud sengketa pertanahan yang terakumulasi dalam tindakan anarkis, seperti penjarahan dan pendudukan tanah – tanah perkebunan, perhutani, Hak Usaha Pertambangan dan Hak Pengelolaan Hutan yang terjadi di Jawa, Sumatera, kalimantan, sulawesi dan Papua yang dalam tataran hukum sangat bertentangan. Sebaliknya dalam wacana sosiologis-empiris perilaku rakyat ini dicermati sebagai manifestasi dari sikap protes ketidak adilan yang melampaui batas kesadaran mereka ( Gunawan Wiradi, 2000: hal 89) tujuannya menuntut kembalikan hak-hak yang dirampas karena saluran hukum tersumbat. Dan tampaknya sengketa / konflik pertanahan kedepan justru mungkin akan meningkat intensitasnya, ditambah upaya penanganan penyelesaiannya memberikan kesan tidak komprehensif, tidak tuntas dan sifatnya partial atau sektoral.
Fenomena diatas untuk menjawab bahwa persoalan permasalahan keagrarian / pertanahan dalam tataran politik hukum agraria di Indonesia adalah masalah yang bersifat multi dimensional, yang merupakan masalah nasional yang krusial ( Sediono MP. Tjondronegoro, 1999:3 ). Didalamnya terkait berbagai aspek juridis, sosial, ekonomi, dan keamanan. klaim dari warga setempat baik di jawa diluar Jawa atas tanah perkebunan, kehutanan, Hak Pengelolaan Hutan dan usaha pertambangan yang mengatas namakan tanah leluhur ( hak adat/ ulayat) menunjukkan keruwetan permasalahan yang ada ( Maria Rita Ruwiati, 2000)
Tanah adalah elemen terpenting dan modal negara yang dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat, sebab dalam konteks negara Indonesia yang agraris, tanah merupakan faktor utama sumber penghidupan dan penghidupannya mayoritas rakyat " Petani" untuk itu harus diperdayakan agar tujuan kemakmuran rakyat tercapai. Petani merupakan Tolok ukur keberhasilan dan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia. Pemberdayaan Rakyat dalam konsepsi politik hukum agraria ini tampak dengan jelas dalam Undang – Undang No. 5 tahun 1960 tentang Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal Undang-Undang Pokok Agraria ( UUPA ). Program-program Landreform adalah salah satu aktualisasi dari perombakan struktur pemilikan dan penguasaan tanah ( Budi Harsono, 1996 : hal 287-288). Dengan kata lain UUPA merupakan instrumen hukum untuk mewujudkan struktur sosial yang lebih adil yang menghasilkan kemakmuran dan keadilan sosial ( Nur Fauzi dkk, 2000 : hal XIX ).
Sebuah hipotesa Perubahan atau pergeseran politik berpengaruh pada perubahan hukum, karena politik hukum pada hakekatnya merupakan artikulasi perkembangan aspirasi masyarakat. Aspirasi dan tuntutannya merupakan basis materiil dari politik hukum ( Margarito Kamis, 2000 : 5 ) akan tetapi bisa juga disebabkan oleh karena kebutuhan dari suatu kekuasaan. Perubahan / Pergeseran politik hukum agraria menjadi siginifikan terlihat dari pranata-pranata yang dikeluarkan dan konflik yang muncul. Undang-Undang Pokok Agraria ( UUPA ) sebagai perwujudan dari Ideologi kerakyatan yang bersifat ( neo) populistis (Endang Suhendar dan Ifdhal Kasim, 1996: hal 17) bila dicermati maka konflik yang ada / timbul mempunyai sifat horisontal, antara rakyat dengan rakyat. Dalam wacana paradigma baru bersifat kapitalistis maka konflik yang timbul bersifat vertikal, terjadi antara rakyat " petani" berhadapan dengan pemilik modal dalam negeri atau asing yang beraliansi strategis dan taktis dengan penguasa atau rakyat berhadapan langsung dengan pemerintah.
Distorsi ketidak kesepamahaman yang komprehensip dalam interpretasi konsepsi politik hukum agraria dan tujuannya dapat dilihat dari Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang penanaman Modal asing, Undang-Undang No. 11 tahun 1967 tentang pengusahaan pertambangan dan Undang- Undang No. 5 tahun 1967 tentang Kehutanan. Kondisi semacam ini terimplikasi pada penanganan permasalahan yang muncul tidak tertangani secara komprehensip hanya bersifat parsial atau sektoral. Bagaimana penyelesaian tanah diperkotaan, persoalan tanah terlantar yang dikuasai pengembang ( Developer), disisi lain bagaimana dengan hutan yang belum dieksploitasi oleh pengusaha hutan dan tanah yang diklaim masyarakat adat dan ulayat.
Undang-Undang No. 5 tahun 1960 merupakan produk politik hukum Agraria nasional yang lahir sarat dengan wacana historikal dan penempati posisi yang trategis dalam mewujudkan kesejahteraan, keadilan dan kesejahteraan rakyat dalam bingkai negara kesatuan Indonesia. Pasal- pasal dalam UUPA tampak jelas merupakan aktualisasi konsepsi filsafat – religius dari pasal 33 ayat 3 UUD'45 dimana Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa untuk bangsa Indonesia, yang dipergunakan bagi sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. dalam konteks inilah UUPA merupakan payung bagi seluruh perundangan yang terkait dengan pengaturan di bidang keagrarian Nasional. Memang UUPA dimaksudkan sebagai landasan seluruh program-program baru perundangan Agraria dan untuk menyelaraskan situasi Agraria dan falsafah Indonesia modern ( Karl J. Pelzer, 1991:62).
Wacana yang menarik saat ini terjadinya polemik konsep menguasai Negara sentralistik dan pendelegasian wewenang dalam pengaturan keagrariaan dalam rangka Otonomi Daerah. Akibat adanya perbedaan pentafsiran, pemahaman dan kepentingan memunculkan arogansi sektoral, diperparah adanya benturan kontruksi hukum antara kedua produk hukum tersebut. Tanah identik dengan komoditi ekonomi yang menjanjikan sebagai sumber pemasukan keuangan daerah sekaligus merupakan ancaman konflik horisontal dan vertikal bahkan mengakibatkan disintegrasi bangsa jika tidak dikelola secara hati-hati. Dan sekarang sudah terjadi. Sebagai ilustrasi menarik bagaimana jadinya seandainya kabupaten Kerawang mengubah tanah pertanian menjadi Industri, maka dapat dibayangkan Indonesia akan menjadi negara pengimport beras terbesar didunia ( Lutfi I. Nasution, Wakil Kepala BPN dalam seminar di Batu Malang tanggal 21 mei 2001).
Berbagai persoalan itulah memunculkan pertanyaan tentang eksistensi UUPA. Ada sementara yang berpendapat UUPA perlu diamandir / revisi atau reformulasi ulang, karena sudah tidak bisa perespon perkembangan saat ini. Sebaliknya ada pula yang berpendapat masih responsif, justru persoalannya terletak pada kebijakan politik hukum yang dikeluarkan sebagai pelaksana UUPA yang menimbulkan masalah.
2. RUMUSAN PERMASALAHAN
Atas dasar latar belakang keadaan tersebut maka dalam studi ini penulis ingin mengadakan penelitian dengan perumusan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah konsepsi dan tujuan politik hukum agraria Indonesia yang terimplementasi dalam Undang No. 5 tahun 1960 dan produk hukum peraturan perundangan yang mengatur keagrarian Nasional kita ?; 2. Bagaimanakah bentuk dan cara penyelesaian sengketa pertanahan yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan politik hukum agraria ?; 3. Dengan banyak terjadinya sengketa pertanahan di Indonesia, apakah produk hukum agraria perlu diperbaharui karena sudah tidak memenuhi dinamika masyarakat saat ini ?. 

 3. TUJUAN PENELITIAN.

Dari rumusan permasalahan diatas tujuan yang ingin dicapai dalam studi penelitian ini diharapkan adalah : 1. Bertujuan untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang perkembangan politik hukum agraria yang ada di Indonesia yang terimplementasi dalam berbagai kebijakan politik dan produk hukum yang dikeluarkan pemerintah; 2. untuk memperoleh gambaran dan data konflik-konflik agraria yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan politik hukum agraria yang tertuang dalam berbagai produk hukum dan cara penyelesaiannya; 3. Untuk mendapatkan fakta-fakta dan data perlu tidaknya pembaharuan produk hukum agraria nasional.
4. MANFAAT PENELITIAN.     
    Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kepentingan teoritis maupun praktis dan dapat dijadikan bahan masukan atau informasi lanjutan dari penelitian terdahulu tentang Politik Hukum Agraria Indonesia. disamping itu hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan kajian dalam pengambilan kebijakan pemerintah yang bersifat prepentif maupun represif yang berkaitan dengan penanganan permasalahan / konflik – konflik agraria yang timbul.

5. TINJAUAN KEPUSTAKAAN.
Tinjauan kepustakaan yang dipergunakan penulis dalam penelitian ini berdasarkan kerangka dasar teori hukum murni dari Hans Kelsen dimana hukum dikonsepsikan sebagai kaedah atau norma yang tersusun secara Hirarkhis dimana puncaknya disebut sebagai " Grundnorm " ( kaedah dasar ). Kaedah dasar itu sendiri intinya bukan merupakan kaedah hukum positif akan tetapi merupakan hasil pemikiran juridis ( Surjono Sukanto, 1986: 127). Adapun tata susunan hirarkhis kaedah hukum secara umum mulai dari kaedah hukum Individu, abstrak dan akhirnya Konstitusi ( UUD ) akan tetapi bagaimana pun faktor politis, sosioogis dan filosofis mempunyai pengaruh terbentuknya kaedah / norma hukum.
Selanjutnya studi tentang politik hukum agraria ini berangkat dari kerangka pemikiran dikatakan hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai formalitas atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaing ( Moh. Mahfud, MD :1998 ; hal 7 ). Dalam beberapa literatur ilmu pengetahuan tentang politik hukum ini dimasukkan dalam salah satu obyek studi ilmu hukum ( Satjipto Rahardjo : 1982 : hal 331 ) dan didalam sistim ajaran tentang hukum yang lazim disebut sebagai disiplin hukum cakupanya adalah ilmu hukum, filasat hukum maupun politik hukum yang masing-masing dengan ruang lingkup tertentu. Pemanfaatan penggabungan ilmu hukum dengan filsafat hukum adalah politik Hukum ( Surjono Sukanto dan Sri Mamudji: 1994: hal 5). Dalam konteks ini Politik hukum berhubungan dengan pembentukan hukum ( Rechtsvorming ) dan penemuan hukum ( Rechtsvinding).
Terdapat beberapa difinisi politik hukum, antara lain seperti yang disampaikan oleh Abdul Hakim G. Nusantara bahwa Politik Hukum adalah kebijakan hukum ( Legal Policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara Nasional oleh suatu pemerintahan Negara tertentu ( Abdurrahman, 1989 : 24 ) yang meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan ketiga pembinaan para penegak hukum ( Moh. Mahfud MD, 1998:9). Berdasarkan cakupan tersebut maka penulis secara ringkas memberikan pengertian dengan tanpa mengurangi substansinya memberikan batasan difinisi Politik hukum agraria adalah Kebijakan pemerintah/ hukum ( Legal Policy ) yang akan dan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah yang tidak hanya dilihat dari sudut formal (produk-produk hukum) melainkan juga latar belakang dan proses pembuatannya, dimana politik hukum agraria di Indonesia dapat diketahui dari UUD'45 dan GBHN termasuk kebijakan – kebijakan umum yang dikeluarkan pemerintahan yang legitimate. Sedangkan kebijakan yang dikeluarkan dapat menimbulkan dampak antara lain konflik agraria.
Pengertian agraria yang penulis pergunakan untuk memberikan cakupan pengertian yang lebih luas dari pada pertanahan yang meliputi permukaan Bumi ( tanah ) dan perut bumi beserta kekayaan yang ada di dalamnya. Sehingga cakupan dalam studi dari poltik hukum agraria akan lebih luas dan mendalam dibandingkan dengan hanya pertanahan.

6. METODE PENELITIAN.

Dalam studi penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian normatif-historis melalui pendekatan kualitatif dengan jalan pengamatan dan studi kasus. Tujuannya penelitian melalui metode penelitian Normatif ( Legal research) guna dapat menemukan asas dan dasar filsafat hukum positif atau penemuan hukum positif ( Legal positif ) dan peraturan pelaksana ( Empirical – Regulations ) sekaligus studi historis melalui penelusuran latar belakang dan kebijakan politik yang mendasari terbentuknya produk hukum. Untuk memperoleh hasil yang maksimum maka penelitian ini melalui pendekatan kualitatif dengan jalan pengamatan gejala-gejala yang ada dan studi kasus, untuk memperoleh gambaran hasil penelitian yang mendalam dan lengkap dengan corak holistik dan memnyajikan informasi yang lebih terfocus.

Adapun bahan dasar yang dipergunakan dibangun melalui penelusuran data kepustakaan bidang hukum yang dikelompokan dalam sumber bahan primer seperti peraturan perundangan , bahan sekunder seperti buku, artikel dan karya ilmiah, sedangkan bahan tertier seperti kamus, almanak maupun buku-buku pegangan dipakai sebagai bahan rujukan untuk menunjang bahan primer dan sekunder. Bahan-bahan ini selajutnya dianalisa dan dideskripsikan guna mendapatkan hasil yang diharapkan.

4 comments:

  1. makasih gan ini memang artikel yang lengkap sangat2 membantu untuk tugas kuliah.. moga2 lancar rejekimu

    ReplyDelete
  2. Terima kasih sangat membantu

    ReplyDelete