Judul : IlmuPerundang-UndanganDasar-dasar Dan Pembentukannya
Pengarang : 1. Maria Farida
IndratiSoeprapto,
2. Prof.Dr.AHamid.S.AHamini, S.H
Terbitan :
1998
A. Pengertian
ilmu Perundang-Undangan
Ilmu Perundang-Undangan adalah ilmu yang
berkembang di negara-negara yang menganut sistem hukum civil law,
terutama di Jerman sebagai negara yang pertama kali mengembangkan. Secara
konsepsional Ilmu Perundang-Undangan menurut Burkhardt Krems adalah
ilmu pengetahuan yang interdisipliner tentang pembentukan hukum negara (die
interdisziplinare wissenschaft vonder staatlichen rechtssetzung). Lebih
lanjut Burkhardt Krems membagi Ilmu Perundang-Undangan
dalam tiga wilayah
1. proses
perundang-undangan.
2. metode
perundang-undangan.
3. teknik perundang-undangan.
Burkhardt
Krems mengatakan perundang-undangan mempunyai dua pengertian
1. teori
perundang-undangan yang berorientasi pada mencari kejelasan dan kejernihan
makna atau pengertian-pengertian dan bersifat kognitif.
2. Ilmu
perundang-undangan yang berorientasi melakukan perbuatan dalam hal pembentukan
peraturan perundang-undangan dan bersifat normatif.
Dalam hal ini Ilmu perundang-undangan
memberikan pengertian sebagai berikut
A. norma
hukum dan tata urutan atau hirarki.
B. lembaga-lembaga negara
yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.
C. lembaga-lembaga
pemerintah yang mempunyai wewenang di bidang peratura perundang-undangan.
D. tata
susunan norma-norma hukum negara.
E. jenis-Jenis
perundang-undangan beserta dasar hukumnya.
F. asas-asas
dan syarat-syarat serta landasan-landasannya.
G. pengundangan dan
pengumumannya.
H. teknik
perundang-undangan dan proses pembentukannya.
Menurut Hans Nawiasky memperinci urutan norma hukum
yang terdiri dari
1. Grundnorm.
2. Aturan-aturan
dasar negara.
3. aturan
formal, undang-undang.
4. peraturan
di bawah undang-undang.
B. Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan
Negara Indonesia dalam tata urutan peraturan
perundang-undangan pada masa Orde Lama diatur lewat Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966 tentang sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan
peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, dengan tata urutannya sebagi
berikut:
1. Undang-Undang
Dasar 1945.
2. Ketetapan
MPR
3. Undang-Undang/Perpu
4. Peraturan
Pemerintah
5. Keputusan
Presiden
6. Peraturan
Menteri
7. Peraturan
pelaksana
Dalam era reformasi tata urutan perundang-undangan diatur dalam Tap MPR No.
III/MPR/2000 yang menggantikan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, dengan urutan
sebagai berikut:
A. Undang-Undang Dasar
1945.
B. Ketetapan
MPR
C. Undang-Undang.
D. PERPU
E. Peraturan
Pemerintah
F. Peraturan
Daerah
Beberapa problematika dalam Tap MPR No. III/MPR/2000 membuat pemerintah dan DPR
menelurkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang tata urutan perundang-undangan sebagai
pengganti Tap MPR No. III/MPR/2000, yang terdiri atas:
a. UUD 1945
b. Undang-Undang/PERPU
c. Peraturan
Pemerintah
d. Peraturan
Presiden
e. Peraturan
daerah
C. Proses Pembentukan
RUU
1. Lahirnya Undang-undang
Proses
pembuatan undang-undang adalah rentetan kejadian yang bermula dari perencanaan,
pengusulan, pembahasan, dan pengesahan. Semua proses tersebut dilakukan oleh
para aktor, yang dalam sistem demokrasi modern disebut eksekutif (Presiden
beserta jajaran kementriannya) dan legislatif (DPR). Tentang bagaimana DPR itu,
kewenangan serta strukturnya tidak perlu lagi kita bahas lagi karena telah
dibahas pada bab terdahulu. Yang akan dibahas pada bagian ini adalah bagaimana
proses pembentukan sebuah undang-undang.
2. Perencanaan
Kita tentu bertanya dasar apa yang digunakan
oleh DPR dan presiden untuk menentukan Rancangan Undang-undang (RUU) apa saja
yang akan dibahas pada suatu periode tertentu. Sejak tahun 2000, DPR dan
pemerintah telah menuangkan indikator program mereka dalam apa yang disebut
dengan Program Pembangunan Nasional (Undang-undang N0. 25 tahun 2000). Di dalam
Program Pembangunan Nasional (Propenas) itu terdapat indikator pembangunan
bidang hukum, salah satu indikatornya adalah ditetapkannya sekitar 120 butir
peraturan perundang-undangan.
Dari butir-butir Propenas tersebut disusun apa yang disebut dengan
Program Legislasi Nasional (Prolegnas), di mana di dalamnnya terdapat kurang
lebih 200 undang-undang yang rencananya akan diselesaikan dalam lima tahun.
Kemudian dari Prolegnas dibuat prioritas tahunan RUU yang akan dibahas oleh
pemerintah dan DPR, yang disebut Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta).
Prolegnas
sendiri disusun melalui koordinasi antara DPR yang diwakili Badan Legislasi dan
pemerintah yang diwakili oleh Bappenas. Kemudian proses pembahasannya sama
dengan proses pembahasan undang-undang, hanya saja melibatkan seluruh perwakilan
komisi yang ada di DPR Penyusunan Repeta dilakukan oleh pemerintah (yang
diwakili oleh Menteri Kehakiman dan HAM) dan Badan Legislasi setelah
mendapatkan masukan dari fraksi dan komisi serta dari Sekretariat Jenderal. Ada
beberapa kriteria yang digunakan untuk menyusun daftar RUU yang akan dimasukan
dalam Repeta: (1) adalah yang diperintahkan langsung oleh undang-undang, (2)
yang ditetapkan oleh Ketetapan MPR, (3) yang terkait dengan perekonomian
nasional, dan yang (4) yang terkait dengan perlindungan terhadap ekonomi
sosial. Untuk merespon atas kondisi sosial yang terjadi di masyarakat, ada
batas toleransi 10-20 % untuk membahas RUU di luar yang ditetapkan dalam
Repeta. Pengajuan suatu RUU oleh DPR ataupun pemerintah selanjutnya berpedoman
pada Repeta yang bersangkutan.
3. Usulan Rancangan
Undang-Undang
Sebuah RUU dapat berasal dari DPR (usul
inisiatif DPR) atau dari pemerintah. Di dalam DPR sendiri
ada beberapa badan yang berhak mengajukan RUU, yaitu komisi, gabungan komisi,
gabungan fraksi atau badan legislasi. Sebelum sampai pada usul inisiatif DPR,
ada beberapa badan yang biasanya melakukan proses penyiapan suatu RUU. Sebagai
ilustrasi, RUU Komisi Anti Korupsi dipersiapkan oleh Fraksi PPP, sedangkan pada
RUU Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (TCP3) dipersiapkan oleh
tim asistensi Baleg (Badan Legislasi).
Di samping itu ada
beberapa badan lain yang secara fungsional memiliki kewenangan untuk
mempersiapkan sebuah RUU yang akan menjadi usul inisiatif DPR. Badan-badan ini
adalah Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi (PPPI) yang bertugas melakukan
penelitian atas substansi RUU dan tim perancang sekretariat DPR yang menuangkan
hasil penelitian tersebut menjadi sebuah rancangan undang-undang.
Dalam menjalankan
fungsi sebagai penggodok RUU, baik Baleg maupun tim ahli dari fraksi memiliki
mekanisme sendiri-sendiri. Baleg misalnya, di samping melakukan sendiri
penelitian atas beberapa rancangan undang-undang, juga bekerjasama dengan
berbagai universitas di beberapa daerah di Indonesia. Untuk satu RUU biasanya
Baleg akan meminta tiga universitas untuk melakukan penelitian dan sosialisasi
atas hasil penelitian tersebut.
Baleg juga banyak
mendapatkan draft RUU dari masyarakat sipil, misalnya RUU tentang Kebebasan
Memperoleh Informasi dari ICEL (Indonesian Center for Enviromental Law), RUU
tentang Kewarganegaraan dari GANDI (Gerakan Anti Diskriminasi) dan RUU
Ketenagakerjaan dari Kopbumi. Bagi masyarakat sipil, pintu masuk suatu usulan
mungkin lebih terlihat "netral" bila melalui Baleg ketimbang melalui
fraksi, karena terkesan tidak terafiliasi dengan partai apapun. Sedangkan PPPI
yang memiliki 43 orang peneliti, lebih banyak berfungsi membantu pihak Baleg
maupun sekretariat guna mempersiapkan sebuah rancangan peraturan
perundang-undangan maupun dalam memberikan pandangan atas RUU yang sedang
dibahas. Selain itu PPPI sering juga melakukan riset untuk membantu para
anggota DPR dalam melakukan tugas mereka, baik itu untuk fungsi legislasi,
pengawasan, maupun budgeter.
Pada tingkat fraksi penyusunan
sebuah RUU dimulai dari adanya amanat dari mukatamar partai. Kemudian fraksi
tersebut membentuk tim pakar yang merancang RUU tersebut berdasarkan masukan
masyarakat melalui DPP maupun DPD partai. Sementara itu, pada RUU usulan
pemerintah, tata cara perumusannya diatur dalam Keppres 188 tahun 1998.
Prosesnya dimulai dengan penyusunan konsep dan naskah akademis yang diikuti
oleh permohonan prakarsa yang dilakukan oleh departemen teknis atau lembaga non
departemen yang terkait. Setelah mendapatkan persetujuan dari presiden barulah
dibentuk panitia perancang RUU. Ada model yang hampir sama dalam setiap
pembentukan tim perancang undang-undang ini. Ketuanya adalah menteri dari
departemen teknis terkait, kemudian tim intinya terdiri dari pejabat eselon I (setingkat
dirjen), pejabat dari instansi lain yang akan terkait dengan substansi RUU,
serta tokoh atau akademisi yang dianggap memiliki keahlian di bidang tersebut.
Sedangkan tim asistensi biasanya melibatkan banyak masyarakat sipil seperti
kalangan LSM. Tim perancang ini kemudian akan merumuskan sekaligus
mengonsultasikan rancangan tersebut kepada publik.
DPR maupun pemerintah
tidak mengkavling-kavling RUU mana saja yang akan diusulkan oleh pemerintah dan
RUU mana yang akan diusulkan oleh DPR. Bisa saja sebuah RUU dikerjakan oleh
berbagai pihak, misalnya saja kasus yang pernah terjadi pada paket
undang-undang politik. Pada September 2000, pemerintah (Departemen dalam
Negeri) telah membentuk tim untuk menyusun paket RUU politik tersebut. RUU
tersebut juga telah disosialisasikan ke beberapa daerah di Indonesia. Paralel
dengan proses itu, DPR bekerjasama dengan RIDEP juga telah menyusun Paket
Undang-undang politik tersebut. Ironisnya pada saat pemerintah mengajukan RUU
tersebut ke DPR pada 29 Mei 2002 dengan Amanat Presiden No. R.06/PU/V/2002
(untuk RUU Partai Politik) dan No. R.07/PU/V/2002 (untuk RUU Pemilu) tidak
satupun dari dua konsep tersebut yang diajukan. Depdagri malah mengajukan
konsep baru yang dibentuk oleh tim yang berbeda.
A. Pengusulan
RUU Dari Pemerintah
RUU beserta
penjelasan/keterangan, dan/atau naskah akademis yang berasal dari Pemerintah
disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR dengan Surat Pengantar Presiden
dengan menyebut juga Menteri yang mewakili Pemerintah dalam melakukan pembahasan
RUU tersebut. Dalam Rapat Paripurna berikutnya, setelah RUU diterima oleh
Pimpinan DPR, ketua rapat memberitahukan kepada Anggota masuknya RUU tersebut,
kemudian membagikannya kepada seluruh Anggota. Pimpinan DPR menyampaikan RUU
beserta penjelasan/keterangan, dan/atau naskah akademis dari pengusul kepada
media massa dan Kantor Berita Nasional untuk disiarkan kepada masyarakat. RUU
yang berasal dari Pemerintah dapat ditarik kembali sebelum pembicaraan Tingkat
I berakhir.
B. Pengusulan RUU Dari
DPR
Sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) orang anggota dapat mengajukan usul rancangan undang-undang. Usul RUU
dapat juga diajukan oleh Komisi, Gabungan Komisi, atau Badan Legislasi dengan
memperhatikan program legislasi nasional. Usul RUU beserta keterangan pengusul
disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR disertai daftar nama dan tanda
tangan pengusul serta nama fraksinya.
Dalam rapat paripurna
berikutnya setelah usul RUU tersebut diterima oleh pimpinan DPR, ketua rapat
memberitahukan kepada anggota masuknya usul RUU tersebut, kemudian dibagikan
kepada seluruh Anggota. setelah RUU didesiminasikan kepada anggota, rapat
paripurna akan mengamanatkan kepada Badan Musyawarah (Bamus) untuk
mengagendakan waktu pembahasan untuk menentukan apakah RUU tersebut diterima
atau tidak.
Pengusul berhak
mengajukan perubahan selama usul RUU belum dibicarakan dalam Bamus. Pengusul
berhak menarik usulnya kembali, selama usul RUU tersebut belum diputuskan
menjadi RUU oleh rapat paripurna. Pemberitahuan tentang perubahan atau penarikan
kembali usul, harus ditandatangani oleh semua pengusul dan disampaikan secara
tertulis kepada Pimpinan DPR, kemudian dibagikan kepada seluruh Anggota.
Selanjutnya, rapat
paripurna memutuskan apakah usul RUU tersebut secara prinsip dapat diterima menjadi
RUU usul DPR atau tidak. Keputusan diambil setelah diberikan kesempatan kepada
pengusul untuk memberikan penjelasan dan kepada fraksi untuk memberikan
pendapatnya.
Keputusan dapat berupa:
a. Persetujuan
tanpa perubahan
b. Persetujuan
tanpa perubahan;
c. persetujuan
dengan perubahan; atau
d. penolakan
Dari tiga kemungkinan keputusan penerimaan RUU
usul DPR, keputusan pertama relatif dapat dimengerti. Namun demikian dapat
ditambahkan penjelasan pada dua keputusan lain, sebagai berikut:
(1). RUU Disetujui dengan Perubahan
Apabila RUU disetujui dengan perubahan, DPR
menugaskan kepada Komisi, Badan Legislasi, atau Panitia Khusus untuk membahas dan
menyempurnakan RUU tersebut. Setelah disetujui menjadi RUU usul dari DPR,
Pimpinan DPR menyampaikan kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden
menunjuk Menteri yang akan mewakili Pemerintah dalam melakukan pembahasan RUU
tersebut bersama-sama dengan DPR.
(2). RUU ditolak
Nah, bagaimana jika RUU ditolak? Pada
kenyataannya, apabila suatu RUU ditolak oleh DPR untuk menjadi usul inisiatif,
tidak ada pengaturan apakah RUU tersebut dapat diajukan lagi pada masa
persidangan tersebut.
4. Tingkat Pembahasan dan Persetujuan
Dalam pembahasan dan
persetujuan harus melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
B. Pembahasan Tingkat Pertama
Pembicaraan Tingkat Pertama terjadi dalam arena
rapat komisi, gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat panitia anggaran
atau rapat panitia khusus bersama-sama dengan pemerintah.
Tatib tidak menjelaskan proses dan kriteria
penentuan badan atau alat kelengkapan DPR mana (apakah komisi, gabungan komisi
ataukah pansus) yang akan membahas suatu rancangan undang-undang bersama
pemerintah. Menurut keterangan Zein Badjeber, proses tersebut
dilaksanakan sepenuhnya oleh Bamus. Bamus juga menetapkan sendiri kriteria
penentuan apakah suatu RUU dibahas oleh Komisi, Gabungan Komisi atau Pansus,
antara lain berdasarkan pertimbangan:
(1).
Substansi dari undang-undang
Apabila substansi undang-undang tersebut merupakan gabungan dari
berbagai bidang-bidang yang ada di komisi maka dibentuk Pansus atau gabungan
komisi. Sedangkan bila hanya mencakup satu bidang saja maka akan dibahas oleh
komisi.
(2). Beban
kerja masing-masing komisi
Apabila jadual suatu
komisi terlalu padat maka dibentuklah pansus, akan tetapi bila terlalu banyak
pansus dan orang habis dalam pansus-pansus maka dibahas di komisi.
Dalam pembahasan
rancangan, Komisi dibantu oleh Sekretaris Komisi untuk merekam, mencatat dan
mendokumentasi persidangan atau data, lain dan mengelola dokumentasi
korespondensi (termasuk aspirasi masyarakat) yang berhubungan dengan Komisi
tersebut. Permohonan untuk melakukan dengar pendapat dengan Komisi diajukan
kepada sekretaris Komisi yang meneruskan kepada rapat pimpinan Komisi untuk
mengagendakan rapat. Seharusnya Sekretaris Komisi mengelola dan menyerahkan
seluruh dokumentasi kepada Bidang Dokumentasi Sekretariat Jendral DPR yang
menyimpan seluruh dokumen kelembagaan. Namun sayangnya seringkali dokumen itu
tidak sampai ke Bidang Dokumentasi.
Selanjutanya, penting bagi kita untuk memahami proses pembicaraan tingkat
pertama. Ada tiga kegiatan yang ada dalam proses ini, yakni:
1. Pemandangan
umum masing-masing fraksi terhadap RUU yang berasal dari Pemerintah, atau
tanggapan pemerintah terhadap RUU yang berasal dari DPR. Tatib tidak mewajibkan
penyampaian dokumen pemandangan secara tertulis sebelum agenda rapat, tetapi
biasanya dokumen tersebut dibagikan pada saat rapat.
2. Jawaban
Pemerintah atas pemandangan umum Fraksi atau jawaban pimpinan Komisi, pimpinan
Badan Legislasi, pimpinan Panitia Anggaran, atau pimpinan Panitia Khusus atas
tanggapan Pemerintah. Tatib tidak mewajibkan penyampaian dokumen pemandangan
secara tertulis sebelum agenda rapat seperti halnya di atas. Biasanya dokumen
tersebut juga dibagikan pada saat rapat.
3. Pembahasan
dan persetujuan bersama atas RUU oleh DPR dan Pemerintah dalam rapat kerja
berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
b. Pembicaraan
Tingkat Dua
Pembicaraan tingkat dua
adalah pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna. Dalam rapat, Komisi,
pimpinan Badan Legislasi, pimpinan Panitia Anggaran, atau pimpinan Panitia
Khusus melaporkan hasil pembicaraan tingkat pertama; lazimnya laporan ini
dituangkan secara tertulis dan dibacakan dalam rapat. Jika dipandang perlu (dan
lazimnya dilakukan), masing-masing Fraksi melalui anggotanya dapat menyertai
catatan sikap Fraksinya.
Tidak jelas apakah
masing-masing anggota (bukan Fraksinya) dapat menyampaikan catatan sikap
mereka, namun tetap ada peluang untuk menyampaikan catatan individual berisikan
catatan penting, keberatan dan perbedaan pendapat yang lazim disebut
[mijnderheadsnota]. Terakhir, Pemerintah dapat menyampaikan sambutan
Persetujuan DPR dituangkan dalam surat keputusan DPR dan disampaikan oleh
Pimpinan DPR pada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-undang] dengan
tembusan pada Menteri terkait.
D. Asas-Asas Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan
Asas hukum merupakan tiang utama bagi pembentuk
Peraturan Perundang-Undangan, asas adalah suatu hal yang dianggap oleh
masyarakat hukum sebagai basic truth , sebab melalui asas
hukum pertimbangan etis dan sosial masyarakat masuk ke dalam hukum, dan menjadi
sumber menghidupi nilai-nilai etis, moral dan sosial masyarakatnya. Menurut
I. C. Van Der Vlies dalam pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan ada beberapa asas formal dan material yang harus perhatikan
antara lain sebagai berikut:
1. Asas Formal
A. asas tujuan yang
jelas.
B. asas
lembaga yang tepat.
C. asas perlunya
pengaturan.
D. asas dapat
dilaksanakan.
E. asas
konsensus.
2.
Asas Material
a. asas
terminologi dan sistematika yang benar.
b. asas dapat
dikenali
c. asas
perlakuan yang sama di depan hukum.
d. asas
kepastian hukum.
e. asas
pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individu.
Berbeda lagi dengan A. Hamid S Attamimi menurutnya
asas material terdiri:
1. asas
sesuai dengan cita hukum dan norma fundmental negara.
2. asas
sesuai dengan hukum dasar negara.
3. asas
sesuai dengan prinsip negara hukum.
4. asas
sesuai dengan prinsip negara berdasar konstitusi.
5. asas
keadilan, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
6. asas
ketertiban, perdamaian, pengayoman dan perikemanusiaan.
E. Landasan
Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan perundang-undangan sekurang-kurangnya memuat:
A. Landasan Filosofis
Peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan folosofis (
filisofische grondslag ) apabila rumusannya atau normanya mendapatkan
pembenaran dikaji secara filosofis. Jadi mendapatkan alasan sesuai dengan
cita-cita dan pandangan hidup manusia dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan
sesuai dengan cita-cita kebenaran, keadilan, jalan kehidupan ( way of
life ), filsafat hidup bangsa, serta kesusilaan.
B. Landasan Sosiologis
Suatu perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis (
sociologische groundslag ) apabila ketentuan-ketentuannya sesuai
dengan keyakinan umum, kesadaran hukum masyarakat., tata nilai, dan hukum yang
hidup di masyarakat agar peraturan yang dibuat dapat dijalankan.
C. Landasan Yudiris
Peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan yuridis (
rechtsground ) apabila mempunyai dasar hukum, legalitas atau landasan
yang terdapat dalam ketentuan hukum yang lebih tinggi derajatnya. Disamping itu
landasan yuridis mempertanyakan apakah peraturan yang dibuat sudah dilakukan
oleh atas dasar kewenganannya.
F. Bahasa Peraturan Perundang-Undangan
Menurut C.K. Allen untuk menyusun
suatu peraturan perundang-undangan ada baiknya memperhatikan:
1. gaya
bahasa ringkas dan sederhana.
2. istilah
yang digunakan bersifat absolut.
3. menghindari
dari kiasan dan dugaan.
4. menggunakan
bahasa yang sederhana.
5. bahasa
tidak menimbulkan perdebatan dan pertentangan.
6. bahasa
yang digunakan mempunyai ketepatan pengertian.
Bahasa yang digunakan
dewasa ini dalam peraturan perundang-undangan:
1. jika,
kata ini digunakan jika menyatakan hubungan syarat.
2. Apabila,
kata ini digunakan menunjukkan uraian atau penegasan waktu terjadinya
suatu peristiwa.
3. dan/atau,
kata ini berarti bisa digabungkan keduanya ( kumulatif ) atau dapat pula
memilih ( alternatif ) salah satu.
No comments:
Post a Comment