Sunday 12 October 2014

HUKUM ADAT DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA

 HUKUM ADAT DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA

A. HUKUM ADAT DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA[1]
Peraturan perundang-undangan Republik Indonesia yang memuat hukum adat di dalamnya dapat disebutkan yaitu:
1.      UUD 1945
2.      Konstitusi RIS
3.      UUD sementara 1950
4.      UU Nomor 1 darurat 1951
5.      Dekrit Presiden tanggal 5 juli 1959 dan kembali berlakunya UUD 1945
6.      Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 Lampiran A paragraf 402
7.      UU Nomor 5 Tahun  1960 beserta peraturan pelaksanaannya
8.      UU Nomor 2 Tahun 1960
9.      UU Nomor 19 Tahun 1964
10.  UU Nomor 5 tahun 1967 beserta peraturan pelaksananannya
11.  UU Nomor 14 tahun 1970
12.  UU Nomor 1 Tahun 1974
13.  UU Nomor 11 Tahun 1974
14.  UU Nomor 5 Tahun 1979

Keberadaan hukum adat di dalam peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia di atas dapat terlihat dalam uraian di bawah ini:
1. Hukum Adat dalam UUD 1945
Bilamana kita meneliti UUD 1945 ternyata tidak ada satu ketentuan  pun yang tegas menyinggung persoalan hukum adat. UUD 1945 tidak menyebut satu kata pun tentang hukum adat. Karenanya menurut SatJipto Raharjo, suatu hal menarik untuk dinikmati bahwa sekalipun oleh banyak orang menerima hukum adat sebagai salah satu sumber hukum, namun Menurut UUD ternyata sama sekali tidak Menyebutkannya.
      Bila diteliti lebih lanjut, di samping penjelasan UUD 1945 dapat kita lihat dalam pembukaan UUD 1945 pada pokok-pokok pikiran yang menjiwai perwujudan cita-cita hukum dasar negara adalah pancasila. Penegasan pancasila sebagai sumber tertib hukum inilah sangat besar artinya bagi hukum adat, karena hukum adat justru berurat berakar kepada kebudayaan rakyat, sehingga dapat menjelmakan perasaan hukum yang nyata dan hidu dikalangan rakyat dan dengan demikian mencerminkan keperibadian bangsa dan  masyarakat Indonesia.
      Dengan penegasan pancasila sebagai sumber tertib hukum dalam pembukaannya ini, maka UUD 1945 pada hakikatnya menempatkan hukum ada pada posisi yang baru dalam [2]tata perundang-undangan negara Indonesia. Secara tersirat , sebenarnya hukum adat dapat ditemukan dalam pasal II Aturan peralihan perundang-undangan yang masih menetapkan bahwa segala bangsa dan negara sert peraturan yang masih langsung berlaku selama belum  diadakan yang baru.
      Pada akhirnya dapat disimpulkan, walaupun UUD 1945 tidak menetapkan dengan tegas, ketentuan khusus bagi hukum adat didalamnya, akan tetapi secara tersirat, hukum adat dinyatakan didalamnya yaitu pada pembukaan dan penjelasan UUD 1945. Karena hukum adat merupakan satu-satunya hukum yang berkembang diatas kerangka dasar pandangan hidup rakyat dan bangsa Idonesia, maka hukum adat selanjutnya akan merupakan sumber yang paling utama dalam pembinaan tata hukum nasional  Negara  Republik Indonesia.
2. Hukum Adat dalam Konstitusi RIS
Dengan diundangkannya Konstitusi RIS pada tanggal 6 Februari 1950 dengan keputusan Presiden RIS tanggal 31 januari 1950 Nomor 48, Lembaran negara tahun 1950 nomor 3, maka kedudukan serta peranan hukum adat dalam perundang-undangan Nasional Republik Indonesia Serikat tidak mengalami perubahan yang berarti. Sebabnya terdapat pasal 192 ayat (1) yang merupakan ketentuan peralihan serta menetapkan bahwa ‘’semua peraturan perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini berlaku.
      Dibidang pengadilan, konstitusi RIS bahkan memberikan kedudukan yang lebih menonjol bagi hukum adat, yaitu ketentuan yang tercantum dalam pasal 146 ayat (1). Pasal ini menyatakan bawa ‘’segala keputusan-keputusan kehakiman harus berisikan alasan-alasannya dan dalam perkara hukum harus menyebutkan aturan-aturan undang-undang dan aturan aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukum itu.
      Dengan adanya pasal 146 ayat (1) maka jelaslah kompleks aturan-aturan  hukum adat yang pada umumnya masih belum tertulis tetulis tetapi tetap hidup dan berkembang di-dalam kehidupan masyarkat sehari-hari karena mencerminkan rasa keadilan rakyat, wajib pula dipahami serta diketahui oleh hakim.
3. Hukum Adat dalam UUDS 1950
UUDS 1950, diundangkan pada tanggal 15 Agustus 1950, dengan UU Nomor 7 tahun 1950 serta mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950 tidak membawa perubahan serta peranan hukum adat di dalam seluruh sistem perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia yang berbentuk Republik kesatuan kembali.
      Di dalam pasal 104 ayat (1) UUDS, ditegaskan kembali apa yang ada dalam pasal 146 ayat (1) konstitusi RIS yaitu bahwa ‘’segala keputusan Pengadilan harus berisi alas-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebutkan aturan-aturan undang-undang dan aturan –aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukum itu.
      Dengan penegasan ini, berarti hakim wajib mewujudkan serta menguraikan secara konkret rasa keadilan rakyat yang telah terbentuk sebagai hukuman didalammasyarakat. Untuk itu hakim secara tekun mengikuti peraturan-peraturan hukum adat yang timbul berkembang di dalam kehidupan sehari-hari mengikuti irama perubahan perasaan keadilan  masyarakat Bangsa Indonesia.
      Bila mengamati mukamidah UUDS 1950 ini, ternyata pancasila masih dicantumkan kembali sebagai mana di dua konstitusi tersebut di atas. Dengan ini maka jiwa pancasila masih tetap merupakan intisari yang fundamental  yang mendasari semua penerapan pasal-pasal UUDS 1950. Perlu diperhatikan dalam UUDS 1950 adalah mengenai isi ketentuan pasal 102 yang menetapkan suatu kebijakan baru dalam bidang perundang-undangan yaitu, ‘’bahwa pengusa akan melakukan kondifikasi terhadap hukum perdata, hukum pidana, hukum dagang, hukum acara pidana dan hukum acara perdata dengan pengecualian jika perundang-undangan menganggap perlu mengatur beberapa hal dalam undang-undang sendiri.
      Perintah kondifikasi ini pada hematnya juga berlaku terhadap hukum adat dan perintah kondifikasi ini juga pertama kalinya disebutkan dalam peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia yang mengatur ketentuan terhadap kondifikasi terhadap kondifikasi hukum adat, walaupun dalam kenyataany belum dapat dilaksanakan.
4. Hukum Adat dalam Undang-undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951
Undang-undang nomor 1 Darurat Tahun 1951 (Lembaran Negara 1951 Nomor 9) yang diundangkan pada tanggal 14 januari 1951 adalah  UU tentang tentang tindakan-tindakan untuk menyelenggarakan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan sipil. Ada dua ketentuan dalam UU ini yang menyangkut persoalan hukum adat yaitu:
a.   Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan antara lain: pada saat berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman, dihapuskan :
(1) Pengadilan Swapraja dalam negeri Sumatera Timur dahulu, karesidenan Kalimantan- Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu kecuali Pengadilan Agama jika pengadialan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian dari pengadilan Swapraja.
(2) Segala pengadilan Adat kecuali Pengadilan Agama jika pengadilan itu menurut hukum
      yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari Pengadilan Adat.
b. Pasal 5 ayat (3) sub b, yang menyatakan: hukum materil sipil untuk sementara waktu berlaku untuk kawula-kawula dan orang-orang itu dengan pengertian:
     (1) bahwa suatu perbuatan yang menurut yang hidup harus dianggap perbuatan pidana,
           Akan tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Sipil               maka dinggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan.
(2) bahwa bilamana hukum adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui
dengan hukuman kurungan, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti sepuluh tahun penjara dengan pengertian bahwa hukum adat [3][4]menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan jaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut.
(3) bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam Kitab UU Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan bandingannya yang paling mirip dengan perbuatan itu.
     Dengan demikian memang ironis sekali, peraturan yang dimuat di dalam UU nomor 1 Darurat  tahun 1951 tersirat bahwa peradilan adat khususnya untuk golongan pribumi dalam rangka melaksanakan hukuman adatnya.
5. Hukum Adat Dalam Dekrit Presiden Tanggal  5 Juli 1959 dan Kembali Berlakunya Undang-undang Dasar 1945
Pada tanggal 5 Juli 1959 dengan melalui dekrit, Presiden membubarkan Konstituante, mengemukakan berlakunya Konstitusi Proklamasi 1945.
     Dengan kembalinya Undang-undang ini,maka sesungguhnya kembali juga jiwa kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia yaitu Pancasila yang melandasi segala kehidupan serta penghidupan masyarakat Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan dengan sendirinya keberadaan hukum adat pun kembali dapat ditemukan.
6. Hukum Adat Dalam Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960, Lampiran A Paragraf 402
Keberadaan hukum Adat dalam ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 Lampiran A paragraph 402 ini dapat dilihat dari garis-garis besar politik dibidang hukum yang ditetapkannya, yaitu:
     a. Asas-asas pembinaan hukum nasional sesuai dengan haluan negara dan berlandasan dengan Hukum Adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur.
b.   Di dalam usaha ke arah homoginitas dalam bidang hukum supaya diperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia.
c.    Dalam penyempurnaan undang-undang hukum perkawinan dan waris supaya diperhatikan adanya faktor-faktor agama, adat dan lain-lainya.
     Dengan diundangkannya Tap MPRS Nomor II/MPRS/1960 terlihat bahwa peran hukum adat dalam pembinaan hukum Nasional jelas dan tegas sepanjang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur.
     Keputusan ini jelas bahwa dalam pembinaan tata hukum nasional sistem hukum yang mencerminkan sifat, jiwa serta semangat Pancasila yang selanjutnya akan mempunyai peran yang penting. Dan sistem hukum yang demikian ini adalah hukum adat, karena hukum adat bersumber dari perasaan hukum dan keadilan yang hidup serta berkembang dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia itu sendiri, suatu masyarakat yang konsep dasar kehidupan dan paenghidupannya adalah Pancasila itu sendiri.
7. Hukum Adat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
Uadang-undang nomor 5 tahun 1960 (lembaran negara 1960 no 108) yang mulai berlaku pada tanggal 24 september 1960 tentang ketentua pokok Agraria yang lebih terkenal dengan singkatan UUPA adalah merupakan contoh sebuah undang-undang yang paling unik dalam menetapkan hubungan masalah pertanahan dengan hukum adat.
Pada paragraph 1 penjelasan umum undang-undang pokok Agraria disebutkan bahwatujunnya adalah hukum Agraria baru yang nasional yang mengganti hukum yang berlaku sampai saat itu. Hukum Agraria yang baru harus sesuai dengan kepentingan rakyat dan negara serta memenuhi keperluannya serta memenuhi permintaa zaman dalam segala soal Agraria. Undang-undang Agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari asas kerohanian negara dan cita-cita bangsa yaitu Pancasila. Jika diamati bunyi pasal 5 UUPA menunukkan sebenarnya Nampak jelas dari pelaksanaan TAP MPRS No II/MPRS 1960.
Berikut ini dikemukakan beberapa pasal dalam UUPA yang apabila diperhatikan member beberapa penegasan yang berkenaan dengan kedudukan hukum adat, yakni :
a.      Pasal 2 ayat (4)
Menegaskan bahwa hak menguasai dari negara dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swantara dan masyarakat hukum adat sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentinga nasional menurut ketentua peraturan pemerintah.
b.      Pasal 3
Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak masyarakat hukum adat harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas peraturan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan UU dan peraturan pemerintah
c.       Pasal 5
Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang, segala sesuatu dengan mengindahkan unsure-unsur yang bersandar pada hukum agama.
d.      Pasa 2 ayat (1)
Terjadinya hak milik menurut hukum adat dengan peraturan pemerintah.
e.      Pasal 56
Selama undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan hukum adat setempat dan peraturan lainnya mengenai hak atas tanah yang member wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dengan pasal 20 sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentua undang-undang.
f.        Selama peraturan pelaksanaan udang-undang ini belum terbentuk, maka peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hak-hak atas tanah, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini serta diberikan tafsiran yang sesuai dengan itu.[5]
g.      Pasal VI Konversi
Hak-hak atas tanah yang member wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) seperti tersebut dengan nama sebagai dibawah yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini yaitu : hak vrichtgebruik, grand controleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok lungguh pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang ditegaskan oleh menteri Agraria, sejak berlakunya undan-undang menjadi hak pakai dalam pasal 41 ayat (1) yang memberikan wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya undang-undang ini sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang.


h.      Pasal VII Konversi
1.      Hak golongan pekulen atau sanggan yang bersifat tetap yang mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak milik pada pasal 20 ayat (1).
2.      Hak golongan pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai pada pasal 41 ayat (1) yang member wewenang dan kewajiban oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya undang-undang ini.
3.      Jika ada keraguan-keraguan apakah sesuatu hak golongan pekulen atau sanggan yang bersifat tetap atau tidak tetap, maka menteri Agrarialah yang memutuskan.
Selain dalam pasal yang dikemukakan di atas penegasan serupa juga dijumpai di dalam konsideran dan penjelasannya. Sedangkan mengenai beberapa ketentuan yang ada dalam pasal peraturan pelaksanaan UUPA yang memberiak pengaturan tentang hukum adat. Antara lain dapat disebutkan yaitu :
1.      Undang-Undang No 56 PRP Tahun 1960
Undang –unda ng Nomor 56 Prp tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian, mengatur soal gadai tanah menurut hkum adat. Dalam pasal 7 Undang-undang itu dinyatakan bahwa:
a. Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada mulai   berlakunya peraturan ini mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung tujuh tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan.
b.  Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk memintanya kembali tiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan.

2.      Peraturan Menteri Agraria No 2 Tahun 1960
Adalah tentang pelaksanaan beberapa ketentuan undang-undang pokok Agraria. Dalam pasal 20 peraturan menteri Agraria ditentukan bahwa :
a.      Konversi hak-hak golongan sanggan atau pakulen yang bersifat tetap menjadi hak milik sebagai dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) ketentua konversi UUPA dilaksankan dengan surat keputusan penegasan kepala inspeksi Agraria yang bersangkutan
b.      Hak golongan, sanggan atau pekulen bersifat tetap atau para golongan terus menerus mempunyai tanah golongan yang sama atau jika meninggal dunia golongannya jatuh pada warisannya
c.       Kepala inspeksi Agraria menetapkan keputusan tersebut pada ayat (1) pasal ini dengan mempertimbankan keputusan bupati atau kepala daerah yang bersangkutan.
d.      Jika perbedaan antara kepala inspeksi Agraria dan bupati kepala daerah tentang soal apakah suatu hak golongan atau tidak tetap. Demikian juga jika desa yang bersangkutan berlainan pendapat dengan kedua pejabat tersebut, maka soalnya dikemukakan lebih dahulu kepada menteri Agraria untuk mendapatkan keputusan.

3.      Peraturan pemerintah nomor 10 tahun 1961
Peraturan pemerintah nomor 10 tahun 1961 adalah tentang pendaftaran tanah. Dalam pasal ini hanya sedikit sekali disinggung mengenai hukum adat.

4.      Peraturan menteri pertanian dan Agraria No 2 tahun 1962
Peraturan menteri pertanian dan Agraria No 2 tahun 1962 adalah tentang penegasanhkonversi dan pendafaran berkas hak Indonesia atas tanah.
5.      Keputusan presiden RI No 54 tahun 1980
Keputusan presiden RI No 54 tahun 1980 tentang kebijkasanaan mengenai pencetakan  sawah memberikan suatu ketentuan yang berkenaan dengan hukum adat sebagaimana dapat dibaca dalam pasal 8 yang menyatakan : dalam hal tanah yang ditetapkan sebagai lokasi pencetakan salah berstatus sebagai tanah yulayat.


8. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960

Undang-undang nomor 2 tahun 1960 tentang pembagian hasil diundangkan pada tanggal 7 Januari 1960. Yang diatur di dalamnya adalah merupakan suatu meteri hukum yang dikenal dengan hukum adat yang tercakup dalam kelompok apa yang dinamakan transaksi yang ada hubungan dengan tanah.
Dalam pasal 7 undang dinyatakan bahwa : besarnya bagi hasil tanah yang menjadi hak npengggarapan dan pemilik untuk setiap daerah SWATANTRA tingkat 2 yang bersangkutan, dengan memperhatikan jenis tanaman, kaedah tanah, kepadatan penduduk, zakat yang disisihkan sebelum dibagi faktor-faktor ekomomis serta ketentua-ketentuan adat setempat.
   Dalam pasal 8 undang-undang No 2 tahun 1960 ditentukan bahwa dibeberapa daerah berlaku kebiasaan untuk memperoleh hak akan mengusahakan tanah dengan perjanjian bagi hasil calon penggarap diharuskan membayar uang atau memberikan barang sesuatu kepada pemilik.[6]


9. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964
Undang-undang Nomor 19 tahun 1964 diundangkan pada tanggal 31 Oktober 1964, merupakan suatu undang-undang yang menetapkan ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman serta bertujuan meletakan dasar-dasar bagi  penyelenggara peradilan. Hal ini ditetapkan dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum sebagai alat revolusi berdasarkan pancasila menuju masyarakat sosialis Indonesia.
     Menurut R. Soerojo Wignjodipoegoro, walaupun tidak ada penjelasan mengenai hal dimaksud di atas akan tetapi sebagai pedoman ketentuan dapat diajukan yaitu MPRS No.II/MPRS/1960 Lampiran A paragraph 402 memuat garis-garis besar politik di bidang hukum serta yang menegaskan bahwa hyukum adat yang dijadikan landasa asas-asas pembinaan hukum nasional adalah hukum adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur.
10. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967
Undang-undang No.5 tahun 1967 (LN 1967 Nomor 8) tentang ketentuan pokok kehutanan adalah undang-undang yang mengatur secara lebih khusus salah satu dari bidang agraria, yaitu hutan. Beberapa pasal yang berkenaan dengan hukum adat dalam undang-undang ini dapat terlihat dalam:
a.      Pasal 17
Pelaksanaan hak masyarakat adat dan anggota anggotanya serta hak hak perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan, baik langsung maupun tidak langsung yang di dasarkan atas suatu peraturan hukum, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan tujuan yang di maksud dalam undang undang ini.
b.      Penjelasan Pasal 17
Selain hukum dan perundan undangan, di beberapa tempat di Indonesia masih berlaku hukum Adat antara lain tentang pembukaan hutan, pengembalaan ternak, pemburun satwa laiar dan pemungutan hasil hutan. Demikian hak sepanjang pelaksanaan harus seseuai dengan kepentingan nasional serta tidak bertentangn dengan Undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Demikian pula tidak dapat dibenarkan lagi apabila hak ukayat dipakai sebagai dalih bagi masyarakat hukum adat setempat untuk membuka hutan secara semenang-menang.
11.  Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
Undang-undang no 14 tahun 1970 yang dinyatakan masih mengandung kelemahan-kelemahan yang prinsipil karena tidak merupakan pelaksanaan murni dari pasal 24 UUD 1945 , bahkan memeuat ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan UUD 1945 , pada hakikatnya menegaskan lagi, bahkan lebih memperkokoh kepentingan peranan hukum adat dalam pembangunan dan pembinaan hukum nasional kita.
     Dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kehakiman dijumpai beberapa pasal yang berkenaan dengan hukum adat,yaitu:
1.      Pasal 3 ayat (1)
Menegaskan bahwa semua peradilan di Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan akan di tetapakan dengan undang undang.
2.      Pasal 23 ayat (1)
Segala putusan pengadilan, harus memuat alasan dan dasar putusan, juga harus memuat pasal pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang di jadikan dasar untuk mengadili.
3.      Pasal 27 ayat (1)
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti,dan memahami nilai nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat.

12.   Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang dindangkan pada tanggal pada tanggal 2 januari 1974 adalah suatu undang-undang nasional yang telah menciptakan pembaruan hukum dibidang perkawinan.
     Bila ditilik undang-undang perkawinan ini dan peraturn pelaksanaanya, yaitu peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975, hukum adat hamper tidak disinggung sama sekali kemunduran.
     Memang demikianlah adanya bahwa kedudukan hukum adat dalam lapangan perkawianan kenyataanya tidak mendapatkan tempat yang layak dalam undang-undang Nomor 1 tahun 1974. Akan tetapi dalam kehidupan bermasyarakan peranan hukum adat masih cukup dominan.
Hal ini juga berkaitan dengan adanya beberapa kelemahan dari Undang-undang Perkawinan itu sendiri yang secara factual belum dapat diterapkan secara menyeluruh dalam masyarakat.
13. Undang-Undang Nomor 11 tahun 1974
Dalam undang-undang nomor 11 thun 1974 tentang Pengairan hanya ada 1 pasal saja yang berkenaan dengan hukum adat, yaitu pasal 3 ayat (3) yang menyatakan bahwa pelaksanaan atas ketentuan ayat (2). Pasal ini tentang hak menguasai negara terhadap air,tetap menghormati hak yangdimiliki masyarakat adat setempat sepanjang yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat adat setempat adalah masyarakat yang tata kehidupannya berdasarkan atas kebiasaaan dan keagamaan termasuk juga lembaga-lembaga masyarakat yang bersifat religius.
14. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
Undang-undang nomor 5 tahun 1979 adalah undang-undang tentang pemerintah Desa, seharusnya Undang-undang ini mempunyai hubungan yang erat dengan Hukum Adat, oleh karena itu kebanyakan desa di Indonesia adalah merupakan persekutuan adat atau yang menjadi pelaksana hukum adat. Karena itu antara desa dengan hukum adat tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dua  hal-hal yang menyinggung hukum adat, yaitu:
a.   Dalam konsidernya disebutkan bahwa sesuai dengan sifat negara kesatuan Republik Indonesia, maka kedudukan pemerintah desa sejauh mungkin diseragamkan, dengan mengindahkan keragaman keadaan desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku. Untuk memperkuat pemerintahan desa agar makin mampun menggearakkan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan dan penyelenggaraan admisnistrasi desa yang semakin luas dan efektif. Disini hanya disebutkan ketetuan adat istiadat, bukan hukum adat dalam sepanjang ketentua memperkuat pemerintahan desa.
b.   Dalam pasal 1 huruf A, ditegaskan bahwa yang dimaksud desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejunlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangga sendiri dalam ikatan NKRI. Ketentua ini menurut hemat kami telah menggeser kedudukan kesatuan masyarakat hukum dari kedudukannya semula sebagai lembaga hukum adat menadi lembaga administrasi pemerintahan, sehingga secara tidak disadari juga akan menggeser hukum adat dengan hukum administrasi pemerintahan.[7]



[1] Satjipto Raharjo, 1983. Hukum Adat Dan Ilmu Hukum Adat dalam Konteks Perubahan Sosial, dalam Majalah Masalah-Masalah Hukum Nomor 5 Tahun XXXI, Halm.52.
Abdurrahman, 1984. Hukum Adat Menurut Perundang-undangan Republik Indonesia, Cendana Press, Jakarta,hlm. 32-33.

[2] R. Soerojo Wignjodipoegoro, 1982. Kedudukan serta Perkembangan Hukum Adat Setelah Kemerdekaan, Gunung Agung, Jakarta, hlm 14-15
Ibid., hlm. 17.

[3] Hazairin, 1974. “SuatuUlasan Tentang Hukum Adat Indonesia pada Masa Sekarang”,dalam 50 Tahun Pendididkan Hukum di Indonesia,FH-UI, Jakarta, hlm.42.
A.W. Pranarka, 1985. Sejarah Pemikiran Tentng Pancasila, Jakarta, hlm.299.

[5]Boedi Harsono, 1961. UNdang-undang Tentang Pokok Agraria Sejarah Penyusunan isi Pelaksanaanya, jambatan, Jakarta, hlm.140.
[6][6] Ibid., hlm. 21-22
[7] Hazairin, 1975. Tinjauan MEngenai Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Tinta Mas, Jakarta, hlm. 7.
Abdurahman. Hukum Adat Menurut Perundang-undangan Republik Indonesia. Op cit., hlm 79-80.

1 comment: