HUKUM ADAT DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA
A. HUKUM
ADAT DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA[1]
Peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia yang memuat hukum adat di dalamnya dapat
disebutkan yaitu:
1. UUD 1945
2. Konstitusi RIS
3. UUD sementara 1950
4. UU Nomor 1 darurat 1951
5. Dekrit Presiden tanggal 5
juli 1959 dan kembali berlakunya UUD 1945
6. Ketetapan MPRS Nomor
II/MPRS/1960 Lampiran A paragraf 402
7. UU Nomor 5 Tahun 1960 beserta peraturan pelaksanaannya
8. UU Nomor 2 Tahun 1960
9. UU Nomor 19 Tahun 1964
10. UU Nomor 5 tahun 1967
beserta peraturan pelaksananannya
11. UU Nomor 14 tahun 1970
12. UU Nomor 1 Tahun 1974
13. UU Nomor 11 Tahun 1974
14. UU Nomor 5 Tahun 1979
Keberadaan
hukum adat di dalam peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia di atas
dapat terlihat dalam uraian di bawah ini:
1. Hukum Adat
dalam UUD 1945
Bilamana kita meneliti UUD 1945 ternyata
tidak ada satu ketentuan pun yang tegas
menyinggung persoalan hukum adat. UUD 1945 tidak menyebut satu kata pun tentang
hukum adat. Karenanya menurut SatJipto
Raharjo, suatu hal menarik untuk dinikmati bahwa sekalipun oleh banyak
orang menerima hukum adat sebagai salah satu sumber hukum, namun Menurut UUD
ternyata sama sekali tidak Menyebutkannya.
Bila
diteliti lebih lanjut, di samping penjelasan UUD 1945 dapat kita lihat dalam
pembukaan UUD 1945 pada pokok-pokok pikiran yang menjiwai perwujudan cita-cita
hukum dasar negara adalah pancasila. Penegasan pancasila sebagai sumber tertib
hukum inilah sangat besar artinya bagi hukum adat, karena hukum adat justru
berurat berakar kepada kebudayaan rakyat, sehingga dapat menjelmakan perasaan
hukum yang nyata dan hidu dikalangan rakyat dan dengan demikian mencerminkan
keperibadian bangsa dan masyarakat
Indonesia.
Dengan
penegasan pancasila sebagai sumber tertib hukum dalam pembukaannya ini, maka
UUD 1945 pada hakikatnya menempatkan hukum ada pada posisi yang baru dalam [2]tata
perundang-undangan negara Indonesia. Secara tersirat , sebenarnya hukum adat
dapat ditemukan dalam pasal II Aturan peralihan perundang-undangan yang masih
menetapkan bahwa segala bangsa dan negara sert peraturan yang masih langsung
berlaku selama belum diadakan yang baru.
Pada
akhirnya dapat disimpulkan, walaupun UUD 1945 tidak menetapkan dengan tegas,
ketentuan khusus bagi hukum adat didalamnya, akan tetapi secara tersirat, hukum
adat dinyatakan didalamnya yaitu pada pembukaan dan penjelasan UUD 1945. Karena
hukum adat merupakan satu-satunya hukum yang berkembang diatas kerangka dasar
pandangan hidup rakyat dan bangsa Idonesia, maka hukum adat selanjutnya akan
merupakan sumber yang paling utama dalam pembinaan tata hukum nasional Negara
Republik Indonesia.
2.
Hukum Adat dalam Konstitusi RIS
Dengan diundangkannya Konstitusi RIS pada
tanggal 6 Februari 1950 dengan keputusan Presiden RIS tanggal 31 januari 1950
Nomor 48, Lembaran negara tahun 1950 nomor 3, maka kedudukan serta peranan
hukum adat dalam perundang-undangan Nasional Republik Indonesia Serikat tidak
mengalami perubahan yang berarti. Sebabnya terdapat pasal 192 ayat (1) yang
merupakan ketentuan peralihan serta menetapkan bahwa ‘’semua peraturan
perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat
konstitusi ini berlaku.
Dibidang
pengadilan, konstitusi RIS bahkan memberikan kedudukan yang lebih menonjol bagi
hukum adat, yaitu ketentuan yang tercantum dalam pasal 146 ayat (1). Pasal ini
menyatakan bawa ‘’segala keputusan-keputusan kehakiman harus berisikan
alasan-alasannya dan dalam perkara hukum harus menyebutkan aturan-aturan
undang-undang dan aturan aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukum itu.
Dengan
adanya pasal 146 ayat (1) maka jelaslah kompleks aturan-aturan hukum adat yang pada umumnya masih belum
tertulis tetulis tetapi tetap hidup dan berkembang di-dalam kehidupan masyarkat
sehari-hari karena mencerminkan rasa keadilan rakyat, wajib pula dipahami serta
diketahui oleh hakim.
3.
Hukum Adat dalam UUDS 1950
UUDS 1950, diundangkan pada tanggal 15
Agustus 1950, dengan UU Nomor 7 tahun 1950 serta mulai berlaku pada tanggal 17
Agustus 1950 tidak membawa perubahan serta peranan hukum adat di dalam seluruh
sistem perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia yang
berbentuk Republik kesatuan kembali.
Di
dalam pasal 104 ayat (1) UUDS, ditegaskan kembali apa yang ada dalam pasal 146
ayat (1) konstitusi RIS yaitu bahwa ‘’segala keputusan Pengadilan harus berisi
alas-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebutkan aturan-aturan
undang-undang dan aturan –aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukum itu.
Dengan
penegasan ini, berarti hakim wajib mewujudkan serta menguraikan secara konkret
rasa keadilan rakyat yang telah terbentuk sebagai hukuman didalammasyarakat.
Untuk itu hakim secara tekun mengikuti peraturan-peraturan hukum adat yang
timbul berkembang di dalam kehidupan sehari-hari mengikuti irama perubahan
perasaan keadilan masyarakat Bangsa
Indonesia.
Bila
mengamati mukamidah UUDS 1950 ini, ternyata pancasila masih dicantumkan kembali
sebagai mana di dua konstitusi tersebut di atas. Dengan ini maka jiwa pancasila
masih tetap merupakan intisari yang fundamental
yang mendasari semua penerapan pasal-pasal UUDS 1950. Perlu diperhatikan
dalam UUDS 1950 adalah mengenai isi ketentuan pasal 102 yang menetapkan suatu
kebijakan baru dalam bidang perundang-undangan yaitu, ‘’bahwa pengusa akan
melakukan kondifikasi terhadap hukum perdata, hukum pidana, hukum dagang, hukum
acara pidana dan hukum acara perdata dengan pengecualian jika
perundang-undangan menganggap perlu mengatur beberapa hal dalam undang-undang
sendiri.
Perintah
kondifikasi ini pada hematnya juga berlaku terhadap hukum adat dan perintah
kondifikasi ini juga pertama kalinya disebutkan dalam peraturan
Perundang-undangan Republik Indonesia yang mengatur ketentuan terhadap
kondifikasi terhadap kondifikasi hukum adat, walaupun dalam kenyataany belum
dapat dilaksanakan.
4. Hukum Adat dalam
Undang-undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951
Undang-undang nomor 1 Darurat Tahun 1951
(Lembaran Negara 1951 Nomor 9) yang diundangkan pada tanggal 14 januari 1951
adalah UU tentang tentang
tindakan-tindakan untuk menyelenggarakan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan
sipil. Ada dua ketentuan dalam UU ini yang menyangkut persoalan hukum adat
yaitu:
a.
Pasal
1 ayat (2) yang menyatakan antara lain: pada saat berangsur-angsur akan
ditentukan oleh Menteri Kehakiman, dihapuskan :
(1) Pengadilan Swapraja dalam negeri
Sumatera Timur dahulu, karesidenan Kalimantan- Barat dahulu dan Negara
Indonesia Timur dahulu kecuali Pengadilan Agama jika pengadialan itu menurut
hukum yang hidup merupakan suatu bagian dari pengadilan Swapraja.
(2) Segala pengadilan Adat kecuali Pengadilan Agama
jika pengadilan itu menurut hukum
yang
hidup merupakan satu bagian tersendiri dari Pengadilan Adat.
b. Pasal
5 ayat (3) sub b, yang menyatakan: hukum materil sipil untuk sementara waktu
berlaku untuk kawula-kawula dan orang-orang itu dengan pengertian:
(1)
bahwa suatu perbuatan yang menurut yang hidup harus dianggap perbuatan pidana,
Akan
tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Sipil maka dinggap diancam dengan
hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan.
(2) bahwa bilamana hukum adat yang
dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui
dengan
hukuman kurungan, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman
pengganti sepuluh tahun penjara dengan pengertian bahwa hukum adat [3][4]menurut
paham hakim tidak selaras lagi dengan jaman senantiasa mesti diganti seperti
tersebut.
(3) bahwa
suatu perbuatan yang menurut hukum harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada
bandingannya dalam Kitab UU Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan
hukuman yang sama dengan bandingannya yang paling mirip dengan perbuatan itu.
Dengan
demikian memang ironis sekali, peraturan yang dimuat di dalam UU nomor 1
Darurat tahun 1951 tersirat bahwa
peradilan adat khususnya untuk golongan pribumi dalam rangka melaksanakan
hukuman adatnya.
5.
Hukum Adat Dalam Dekrit Presiden Tanggal
5 Juli 1959 dan Kembali Berlakunya Undang-undang Dasar 1945
Pada tanggal 5 Juli 1959 dengan melalui
dekrit, Presiden membubarkan Konstituante, mengemukakan berlakunya Konstitusi
Proklamasi 1945.
Dengan
kembalinya Undang-undang ini,maka sesungguhnya kembali juga jiwa kepribadian
masyarakat dan bangsa Indonesia yaitu Pancasila yang melandasi segala kehidupan
serta penghidupan masyarakat Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan dengan
sendirinya keberadaan hukum adat pun kembali dapat ditemukan.
6.
Hukum Adat Dalam Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960, Lampiran A Paragraf 402
Keberadaan hukum Adat dalam ketetapan MPRS
Nomor II/MPRS/1960 Lampiran A paragraph 402 ini dapat dilihat dari garis-garis
besar politik dibidang hukum yang ditetapkannya, yaitu:
a. Asas-asas pembinaan hukum
nasional sesuai dengan haluan negara dan berlandasan dengan Hukum Adat yang
tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur.
b.
Di
dalam usaha ke arah homoginitas dalam bidang hukum supaya diperhatikan
kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia.
c.
Dalam
penyempurnaan undang-undang hukum perkawinan dan waris supaya diperhatikan
adanya faktor-faktor agama, adat dan lain-lainya.
Dengan
diundangkannya Tap MPRS Nomor II/MPRS/1960 terlihat bahwa peran hukum adat
dalam pembinaan hukum Nasional jelas dan tegas sepanjang tidak menghambat
perkembangan masyarakat adil dan makmur.
Keputusan
ini jelas bahwa dalam pembinaan tata hukum nasional sistem hukum yang
mencerminkan sifat, jiwa serta semangat Pancasila yang selanjutnya akan
mempunyai peran yang penting. Dan sistem hukum yang demikian ini adalah hukum
adat, karena hukum adat bersumber dari perasaan hukum dan keadilan yang hidup
serta berkembang dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia itu sendiri, suatu
masyarakat yang konsep dasar kehidupan dan paenghidupannya adalah Pancasila itu
sendiri.
7.
Hukum Adat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
Uadang-undang nomor 5 tahun 1960 (lembaran
negara 1960 no 108) yang mulai berlaku pada tanggal 24 september 1960 tentang
ketentua pokok Agraria yang lebih terkenal dengan singkatan UUPA adalah
merupakan contoh sebuah undang-undang yang paling unik dalam menetapkan
hubungan masalah pertanahan dengan hukum adat.
Pada paragraph 1 penjelasan umum
undang-undang pokok Agraria disebutkan bahwatujunnya adalah hukum Agraria baru
yang nasional yang mengganti hukum yang berlaku sampai saat itu. Hukum Agraria
yang baru harus sesuai dengan kepentingan rakyat dan negara serta memenuhi
keperluannya serta memenuhi permintaa zaman dalam segala soal Agraria.
Undang-undang Agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari asas kerohanian
negara dan cita-cita bangsa yaitu Pancasila. Jika diamati bunyi pasal 5 UUPA
menunukkan sebenarnya Nampak jelas dari pelaksanaan TAP MPRS No II/MPRS 1960.
Berikut ini dikemukakan beberapa pasal
dalam UUPA yang apabila diperhatikan member beberapa penegasan yang berkenaan
dengan kedudukan hukum adat, yakni :
a.
Pasal
2 ayat (4)
Menegaskan bahwa
hak menguasai dari negara dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swantara dan
masyarakat hukum adat sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan
kepentinga nasional menurut ketentua peraturan pemerintah.
b.
Pasal
3
Dengan mengingat
ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak masyarakat hukum adat harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang
berdasarkan atas peraturan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan UU dan
peraturan pemerintah
c.
Pasal
5
Hukum Agraria yang
berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas
persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan
yang tercantum dalam undang-undang, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsure-unsur yang bersandar pada hukum agama.
d.
Pasa 2
ayat (1)
Terjadinya hak
milik menurut hukum adat dengan peraturan pemerintah.
e.
Pasal
56
Selama
undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat (1) belum
terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan hukum adat setempat dan peraturan
lainnya mengenai hak atas tanah yang member wewenang sebagaimana atau mirip
dengan yang dimaksud dengan pasal 20 sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa
dan ketentua undang-undang.
f.
Selama
peraturan pelaksanaan udang-undang ini belum terbentuk, maka peraturan baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai bumi dan air serta kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dan hak-hak atas tanah, tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam
undang-undang ini serta diberikan tafsiran yang sesuai dengan itu.[5]
g.
Pasal
VI Konversi
Hak-hak atas tanah
yang member wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam
pasal 41 ayat (1) seperti tersebut dengan nama sebagai dibawah yang ada pada
mulai berlakunya undang-undang ini yaitu : hak vrichtgebruik, grand controleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh,
bengkok lungguh pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang
ditegaskan oleh menteri Agraria, sejak berlakunya undan-undang menjadi hak
pakai dalam pasal 41 ayat (1) yang memberikan wewenang dan kewajiban sebagaimana
yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya undang-undang ini
sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang.
h.
Pasal
VII Konversi
1.
Hak
golongan pekulen atau sanggan yang
bersifat tetap yang mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak milik pada
pasal 20 ayat (1).
2.
Hak
golongan pekulen atau sanggan yang
tidak bersifat tetap menjadi hak pakai pada pasal 41 ayat (1) yang member
wewenang dan kewajiban oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya undang-undang
ini.
3.
Jika
ada keraguan-keraguan apakah sesuatu hak golongan pekulen atau sanggan yang
bersifat tetap atau tidak tetap, maka menteri Agrarialah yang memutuskan.
Selain dalam pasal yang dikemukakan di atas
penegasan serupa juga dijumpai di dalam konsideran dan penjelasannya. Sedangkan
mengenai beberapa ketentuan yang ada dalam pasal peraturan pelaksanaan UUPA
yang memberiak pengaturan tentang hukum adat. Antara lain dapat disebutkan
yaitu :
1.
Undang-Undang
No 56 PRP Tahun 1960
Undang –unda ng Nomor 56 Prp tahun 1960 tentang penetapan
luas tanah pertanian, mengatur soal gadai tanah menurut hkum adat. Dalam pasal
7 Undang-undang itu dinyatakan bahwa:
a. Barang siapa menguasai tanah pertanian
dengan hak gadai yang pada mulai berlakunya
peraturan ini mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung tujuh tahun atau
lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan
setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut
pembayaran uang tebusan.
b. Mengenai
hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum berlangsung 7 tahun,
maka pemilik tanahnya berhak untuk memintanya kembali tiap waktu setelah
tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan.
2.
Peraturan
Menteri Agraria No 2 Tahun 1960
Adalah tentang
pelaksanaan beberapa ketentuan undang-undang pokok Agraria. Dalam pasal 20
peraturan menteri Agraria ditentukan bahwa :
a.
Konversi
hak-hak golongan sanggan atau pakulen yang bersifat tetap menjadi hak
milik sebagai dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) ketentua konversi UUPA
dilaksankan dengan surat keputusan penegasan kepala inspeksi Agraria yang
bersangkutan
b.
Hak
golongan, sanggan atau pekulen bersifat tetap atau para golongan terus menerus
mempunyai tanah golongan yang sama atau jika meninggal dunia golongannya jatuh
pada warisannya
c.
Kepala
inspeksi Agraria menetapkan keputusan tersebut pada ayat (1) pasal ini dengan
mempertimbankan keputusan bupati atau kepala daerah yang bersangkutan.
d.
Jika
perbedaan antara kepala inspeksi Agraria dan bupati kepala daerah tentang soal
apakah suatu hak golongan atau tidak tetap. Demikian juga jika desa yang
bersangkutan berlainan pendapat dengan kedua pejabat tersebut, maka soalnya
dikemukakan lebih dahulu kepada menteri Agraria untuk mendapatkan keputusan.
3.
Peraturan
pemerintah nomor 10 tahun 1961
Peraturan
pemerintah nomor 10 tahun 1961 adalah tentang pendaftaran tanah. Dalam pasal
ini hanya sedikit sekali disinggung mengenai hukum adat.
4.
Peraturan
menteri pertanian dan Agraria No 2 tahun 1962
Peraturan menteri
pertanian dan Agraria No 2 tahun 1962 adalah tentang penegasanhkonversi dan
pendafaran berkas hak Indonesia atas tanah.
5.
Keputusan
presiden RI No 54 tahun 1980
Keputusan presiden
RI No 54 tahun 1980 tentang kebijkasanaan mengenai pencetakan sawah memberikan suatu ketentuan yang
berkenaan dengan hukum adat sebagaimana dapat dibaca dalam pasal 8 yang
menyatakan : dalam hal tanah yang ditetapkan sebagai lokasi pencetakan salah
berstatus sebagai tanah yulayat.
8. Undang-undang Nomor 2
Tahun 1960
Undang-undang nomor 2 tahun 1960 tentang pembagian
hasil diundangkan pada tanggal 7 Januari 1960. Yang diatur di dalamnya adalah
merupakan suatu meteri hukum yang dikenal dengan hukum adat yang tercakup dalam
kelompok apa yang dinamakan transaksi yang ada hubungan dengan tanah.
Dalam pasal 7 undang dinyatakan bahwa : besarnya bagi
hasil tanah yang menjadi hak npengggarapan dan pemilik untuk setiap daerah
SWATANTRA tingkat 2 yang bersangkutan, dengan memperhatikan jenis tanaman,
kaedah tanah, kepadatan penduduk, zakat yang disisihkan sebelum dibagi
faktor-faktor ekomomis serta ketentua-ketentuan adat setempat.
Dalam pasal 8
undang-undang No 2 tahun 1960 ditentukan bahwa dibeberapa daerah berlaku kebiasaan
untuk memperoleh hak akan mengusahakan tanah dengan perjanjian bagi hasil calon
penggarap diharuskan membayar uang atau memberikan barang sesuatu kepada
pemilik.[6]
9. Undang-undang Nomor 19
Tahun 1964
Undang-undang Nomor 19 tahun 1964 diundangkan pada
tanggal 31 Oktober 1964, merupakan suatu undang-undang yang menetapkan
ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman serta bertujuan meletakan
dasar-dasar bagi penyelenggara
peradilan. Hal ini ditetapkan dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa pengadilan
mengadili menurut hukum sebagai alat revolusi berdasarkan pancasila menuju
masyarakat sosialis Indonesia.
Menurut R. Soerojo Wignjodipoegoro, walaupun
tidak ada penjelasan mengenai hal dimaksud di atas akan tetapi sebagai pedoman
ketentuan dapat diajukan yaitu MPRS No.II/MPRS/1960 Lampiran A paragraph 402
memuat garis-garis besar politik di bidang hukum serta yang menegaskan bahwa
hyukum adat yang dijadikan landasa asas-asas pembinaan hukum nasional adalah
hukum adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur.
10.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967
Undang-undang No.5 tahun 1967 (LN 1967
Nomor 8) tentang ketentuan pokok kehutanan adalah undang-undang yang mengatur
secara lebih khusus salah satu dari bidang agraria, yaitu hutan. Beberapa pasal
yang berkenaan dengan hukum adat dalam undang-undang ini dapat terlihat dalam:
a.
Pasal
17
Pelaksanaan hak
masyarakat adat dan anggota anggotanya serta hak hak perseorangan untuk
mendapatkan manfaat dari hutan, baik langsung maupun tidak langsung yang di
dasarkan atas suatu peraturan hukum, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan tujuan yang di maksud dalam undang
undang ini.
b.
Penjelasan
Pasal 17
Selain hukum dan
perundan undangan, di beberapa tempat di Indonesia masih berlaku hukum Adat
antara lain tentang pembukaan hutan, pengembalaan ternak, pemburun satwa laiar
dan pemungutan hasil hutan. Demikian hak sepanjang pelaksanaan harus seseuai
dengan kepentingan nasional serta tidak bertentangn dengan Undang-undang dan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Demikian pula tidak dapat
dibenarkan lagi apabila hak ukayat dipakai sebagai dalih bagi masyarakat hukum
adat setempat untuk membuka hutan secara semenang-menang.
11.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
Undang-undang no 14 tahun 1970 yang
dinyatakan masih mengandung kelemahan-kelemahan yang prinsipil karena tidak
merupakan pelaksanaan murni dari pasal 24 UUD 1945 , bahkan memeuat
ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan UUD 1945 , pada hakikatnya menegaskan
lagi, bahkan lebih memperkokoh kepentingan peranan hukum adat dalam pembangunan
dan pembinaan hukum nasional kita.
Dalam
Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kehakiman dijumpai
beberapa pasal yang berkenaan dengan hukum adat,yaitu:
1.
Pasal
3 ayat (1)
Menegaskan bahwa
semua peradilan di Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan akan di
tetapakan dengan undang undang.
2.
Pasal
23 ayat (1)
Segala putusan
pengadilan, harus memuat alasan dan dasar putusan, juga harus memuat pasal pasal
tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang
di jadikan dasar untuk mengadili.
3.
Pasal
27 ayat (1)
Hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti,dan memahami nilai nilai
hukum yang hidup di dalam masyarakat.
12.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan yang dindangkan pada tanggal pada tanggal 2 januari 1974 adalah
suatu undang-undang nasional yang telah menciptakan pembaruan hukum dibidang
perkawinan.
Bila
ditilik undang-undang perkawinan ini dan peraturn pelaksanaanya, yaitu
peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975, hukum adat hamper tidak disinggung
sama sekali kemunduran.
Memang
demikianlah adanya bahwa kedudukan hukum adat dalam lapangan perkawianan
kenyataanya tidak mendapatkan tempat yang layak dalam undang-undang Nomor 1
tahun 1974. Akan tetapi dalam kehidupan bermasyarakan peranan hukum adat masih
cukup dominan.
Hal ini juga berkaitan dengan adanya
beberapa kelemahan dari Undang-undang Perkawinan itu sendiri yang secara
factual belum dapat diterapkan secara menyeluruh dalam masyarakat.
13. Undang-Undang Nomor 11
tahun 1974
Dalam undang-undang nomor 11 thun 1974 tentang
Pengairan hanya ada 1 pasal saja yang berkenaan dengan hukum adat, yaitu pasal
3 ayat (3) yang menyatakan bahwa pelaksanaan atas ketentuan ayat (2). Pasal ini
tentang hak menguasai negara terhadap air,tetap menghormati hak yangdimiliki
masyarakat adat setempat sepanjang yang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
masyarakat adat setempat adalah masyarakat yang tata kehidupannya berdasarkan
atas kebiasaaan dan keagamaan termasuk juga lembaga-lembaga masyarakat yang
bersifat religius.
14.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
Undang-undang nomor 5 tahun 1979 adalah
undang-undang tentang pemerintah Desa, seharusnya Undang-undang ini mempunyai
hubungan yang erat dengan Hukum Adat, oleh karena itu kebanyakan desa di
Indonesia adalah merupakan persekutuan adat atau yang menjadi pelaksana hukum
adat. Karena itu antara desa dengan hukum adat tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Dua hal-hal yang menyinggung hukum
adat, yaitu:
a.
Dalam konsidernya
disebutkan bahwa sesuai dengan sifat negara kesatuan Republik Indonesia, maka
kedudukan pemerintah desa sejauh mungkin diseragamkan, dengan mengindahkan
keragaman keadaan desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku. Untuk
memperkuat pemerintahan desa agar makin mampun menggearakkan masyarakat dalam
partisipasinya dalam pembangunan dan penyelenggaraan admisnistrasi desa yang
semakin luas dan efektif. Disini hanya disebutkan ketetuan adat istiadat, bukan
hukum adat dalam sepanjang ketentua memperkuat pemerintahan desa.
b.
Dalam
pasal 1 huruf A, ditegaskan bahwa yang dimaksud desa adalah suatu wilayah yang
ditempati oleh sejunlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di
dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan
terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangga
sendiri dalam ikatan NKRI. Ketentua ini menurut hemat kami telah menggeser
kedudukan kesatuan masyarakat hukum dari kedudukannya semula sebagai lembaga
hukum adat menadi lembaga administrasi pemerintahan, sehingga secara tidak
disadari juga akan menggeser hukum adat dengan hukum administrasi pemerintahan.[7]
[1] Satjipto Raharjo, 1983. Hukum Adat Dan Ilmu Hukum Adat dalam
Konteks Perubahan Sosial, dalam Majalah Masalah-Masalah Hukum Nomor 5 Tahun
XXXI, Halm.52.
Abdurrahman, 1984. Hukum Adat Menurut Perundang-undangan Republik
Indonesia, Cendana Press, Jakarta,hlm. 32-33.
[2] R. Soerojo Wignjodipoegoro, 1982. Kedudukan serta Perkembangan
Hukum Adat Setelah Kemerdekaan, Gunung Agung, Jakarta, hlm 14-15
Ibid., hlm. 17.
[3] Hazairin, 1974. “SuatuUlasan Tentang Hukum Adat Indonesia pada Masa
Sekarang”,dalam 50 Tahun Pendididkan Hukum di Indonesia,FH-UI, Jakarta, hlm.42.
[5]Boedi Harsono, 1961. UNdang-undang Tentang Pokok Agraria Sejarah
Penyusunan isi Pelaksanaanya, jambatan, Jakarta, hlm.140.
[7] Hazairin, 1975. Tinjauan MEngenai Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974, Tinta Mas, Jakarta, hlm. 7.
Abdurahman. Hukum Adat Menurut Perundang-undangan Republik
Indonesia. Op cit., hlm 79-80.
izin share.
ReplyDeletethanks,,, sangat bermanfaat