Sunday 12 October 2014

MATERI HUKUM PERIKATAN DAN PERJANJIAN PERDATA

Materi Hukum Perikatan Dan Perjanjian Perdata.


Perikatan (van verbinteinisen)
Pasal 1420 (resiko perjanjian tehada para pebeli)
Buku Ketiga (III) tentang perikatan dibagi atas :
Bab 1-4 ( mengatur tentang aturan uu terhadap periatan itu sendiri)
Bab 5-8 ( perjanjian khusus)
Dalam buku III mempunyai system sebgai beriku:
- Sifat terbuka = perjanjian yang bisa disimpangi, mempunyai perjanjian yang lebih lanjut( co. psl 1420)
- Sifat trtutup= tidak bisa diubah/ disimpangi (co. psl 1320, syarat sahnya suatu perjanjian.)

Sumber-sumber hukum perikatan yaitu:
1. Perjanjian (overrecomsf) “ menimbulkan perikatan
2. Undang-undang”isi dari perjanjian

Persamaan perjanjian dan undang-undang yaitu perjanjian yang menimbulkan perikatan dan undang dan undang-undang yaitu isi dari perjanjian
Perbedaan antara perjanian dan undang-undang yaitu perjanjian menimbulkan perikatan, tapi perikata tidak selamanya disebut perjanjian (co, peraturan yang dibuat pemerintah harus diseujui oleh masyarakat.)

Asas-asas daam perikatan dan perjanjian yaitu:
1. Asas kebebasan berkonterak (1337 &1338) “maksudnya para pihak bebas menentukan isi dari perjanjian tersebut (secara tertuis dan lisan)
2. Asas konenualisme yang artinya perjanjian itu lahir ketika ada kata sepakat dari pihak- pihk secaa lisan (1320 & 1338)
3. Asas pacta sunservanda (1338 ayat 1)
4. Asas iktikat baik (1338 ayat 3)
5. Asas keperibadian “maksudnya tidak ada seorangpun dapat melakukan perjanjian untuk dirinya sendiri (asas persnalitas) pasal 1317

Macam –macam prjanjian menurut bentuknya yaitu:

a. Rill/ secara nyata langsung dengan penyerahan barang
b. Formil /secara tertulis diatas meterai
c. Konsensuaisme /perjanjian secara lisan
Force mayor / overmach= Daya Paksa

DEFINISI perjanjian menurut pasal 1313 yaitu: suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih mengenai batasan tersebut
Pristiwa Hukum
Peristiwa hukum yaitu : peristiwa yang terjadi dalam masyarakat yang membawa pristiwa hukum
Peristiwa hukum dibagi atas dua yaitu :
a. Yang terjadi karena perbuata hukum oleh subjek hukum
b. Yang terjadi bukan karena perbuatan dari subjek hukum

Perbuatan hukum terbagi atas:
a. Bersegi satu -> artinya pengibahan yang dalakukan seseorang kepada orang lain dan didalamnya tidak berdasarkan perjanjian
b. Bersegi dua -> artinya perjanjian jual beli antara dua orang
c. Bersegi banyak-> dalam suatu perbuatan hukum, ada beberapa perbuatan yang dilahirkan

Perbuatan yang dikategorikan bukan perbuatan hukum yaitu :
1. Overschuldigde betaling yaitu seakan-akan memiliki utang
2. Sakwarneming yaitu prbuatan yang sukarela
3. Schulding beawing yaitu balas jasa
Perbuatan melawan hukum = onregh matigdad

Kadaluarsa dibedakan menjdi 2 yaitu:
a. Akuisitif yaitu kadaluarsa yang menibulkan hak.contoh, kredit barang
b. Ekstinsif yaitu kadalusa yang menghilangkan kewajiban

Unsure- unsure dari pada kata sepakat yaitu :
1. Offerte = penawaran
2. Acceptasi = penerimaan
Kesepakatan dilakukan secara bebas dan tidak mengandung dwing( paksaan), dwaling (kekeliruan), dan bedrog (penipuan).

Tentang seseorang yang tidak caka hukum atau dibawah pengapuan diatur dalam pasal 1330 KUHPerdata, dan perempuan diatur dalam surat edaran mahkamah agung thn 1963
Pembatalan hukum dibagi atas:
a. Pembatalan demi hukum
b. Batal
c. Dapat Dibatalkan

Syarat Subjek yaitu:
a. Kesepakatan dan kecakapan
Syarat Obek yaitu:
a. Sebab yang halal
b. Suatu hal tertentu

Orang yang tidak cacap hukum ( personen miserable).
Akibat surat perjanjian yaitu:
a. Pacta sunservanda
b. Tidak bisa ditarik secara sepihak
c. Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikat baik

Ada 3 hal dalam suatu perjanjian yaitu:
a. Perjanjian mengikat para pihak
b. Mempunyai ahli waris dan pihak ketiga
c. Adanya penafsiran perjanjian

Jenis-jenis perjanjian yang dibedakan menjadi 10 yaitu

1. Menurut sumbernya yaitu;

a. Keluarga
b. Hukum kebendaan
c. Perjanjian obligator
d. Hukum acara
e. Hukum public

2. Menurut hak dan kewajiban para pihak

a. Perjanjian timbal balik = kedua pihak sama-sama menyetujui dan melaksanakan suatu perjanjian. contoh, jual-beli
b. Perjanjian sepihak. contoh, hibah

3. Menurut keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi pada pihak yang lain

a. Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain dan antara keduanya itu
b. Hubungan dalam hukum, contoh, jual-beli, sewa-menyewa

4. Perjanjian menurut nama dan tidak bernama

a. Nominal perjanjian/ perjanjian yang sudah adan sebelumnya
b. Inominal perjanjian / perjanjian yang baru muncul yang sifatnya khusus

5. Perjanjian menurut bentuknya yaitu

a. Perjanjian Formal / perjanjian secara tertulis dan ada akta notaries
b. Perjanjian Rill /nyata
c. pErjanjian Konsensualisme / perjanjin yang terbentuk karena ada kata sepakat

6. Perjanjian yang istimewa yaitu

a. Perjanjian liberatoir = perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban
b. Perjanjian pembuktian = perjanjian dimana kedua para pihak menentukan perjanjian
c. Pejrjanian untung-untungan / asuransi
d. Perjanjian public = perjanjian yang keseluruhan dikuasai oleh hukum public

7. Perjanjian campuran (contract sui generis)

8. Perjanjian penanggungan (borgtech)

9. Perjanjian garansid dan janji pihak ketiga

a. Pokok = perjanjian yang utama
b. Accessoir= perjanjian tambahan


PERIKATAN

DEFINISI perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak dalam lapangan harta kekayaan dimana pihak yang satu berkewajiban untuk berprestasi dan pihak yang satu berhak prestasi
Sumber Hukum Perikatan (1233) yaitu;

2. Karena merupakan perbuatan manusia (1353) – yang dibagi atas 2 yaitu:

a. prbuatan sesuai dengan hukum yang dibagi atas 2 yaitu
d. zakwarneming “perbuatan yang menimbulkan hak yang dilakukan secara sukarela tanpa diminta oleh orang lain” contoh dokter mengobati pasien tanpa menunggu keluarganya
e. schulding beawing “ pembayaran tak terhutang. contoh, balas jasa

Bagan Sumber- Sumber Perikatan:

Macam-macam perikatan menurut ilmu pengetahuan yaitu antara lain:
a. Perikatan berdasarkan isi yaitu

1. Perikatan untuk memberikan sesuatu (1235-1238)
2. Perikatan untuk melakukan sesuatu ( 1239- 1242)
3. Perikatan untuk tidak melakukan Sesutu (1239-1242)
4. Perikatan alternative atau manasuka
5. Perikatan vakultatif /sepihak
6. Perikatan spesifik dan generic (1391-1392)
7. Perikatan yang dapat diagi dan tidak dapat dibagi
8. Perikatan tanggung-menanggung

b. Berdasarkan subjeknya dibagi atas;

1. Perikatan tanggung-menangung / solider (1248-1255)
2. Perikatan pokok dan tambahan

c. Berdasarkan daya kerja yaitu

1. Perikatan bersyarat (1253-1268)
i. Syarat tangguh (1263)
ii. Syarat batal (1262) –apabila bertentangan dengan undang-undang/ kesusilaan
iii. Syarat tergantung orang yang terikat

2. Perikatan berdasarkan ketetapan waktu (1268-1271)

i. Ketetapan waktu yang menangguhkan
ii. Ketetapan waktu yang memutuskan dan membatalkan

d. Berdasarkan dokterin

1. Perikatan perdata dan perikatan alamiah
2. Perikatan pokok dan asesoir
3. Perikatan primer dan sekunder
4. Perikatan sepintas dan memakan waktu
5. Perikatan positif dan negative
6. Perikatan sederhana dan komulatif
7. Perikatan alternaif dan vakultatif

WANPRESTASI adaah suatu keadaan yang menunjukan debitur tidak prestasi
Unsure-Unsur yang menentukan kesalahan Wanprestasi yaitu:

1. Perbuatan yang dilakukan debitur dapat disesakan oleh kreditur
2. Dapat diketahui akibatnya
3. Debitur sadar akan perbuatannya.

Syarat Hapusnya perikatan menurut pasal 1381 KUHperdata yaitu antara lain:

1. Pmbayaran / pelunasan hutang
2. Penawaran (1404) – debitur memayar utang tetapi ditolak oleh kreditur
3. Pembaharuan utang/ novasi (1413)
4. Penghapusan utang atau kopensasi utang
5. Pencampuran utang menjadi Satur
6. Pembebasan utang

Syarat hapusnya perikatan atas kemauan para piha atau sepihak yaitu:
1. Para pihak melakukan perjanjian
2. Oleh salah satu pihak
3. Salah satu piha yang menghentian perjanjian
4. Oleh karna putusan pengadilan

Akta Pauliana yaitu tindakan tuntutan kreditur terhadap debitur untuk mebatalkan tuntutannya yang merugikan kreditur.

Menurut pasal 1338 KUHPerdata menyebutkan bahwa : setiap perjanjian akan menjadi undang-undang bagi mereka yang melakukan perjanjian itu
menurut pasal 1792 dan 1819 menyebutkan tentang penberian kuasa dimana perjanjian pemberian kuasa diberikan kepada orang lain.
Pemberian kuasa digolongkan menjadi 2 yaitu

a. Pemberi kuasa
b. Penerima kuasa

menurut pasal 1763 KUHPerdata, mengatur cara pemberian kuasa jenis-jenis pemberian kuasa yaitu;
a. Pemberian dengan Cuma-Cuma
b. Pemberian dengan upah
c. Upah tidak ditentukan dengan Cuma-Cuma
d. Upah tidak ditentukan dengan upah

Bagian- bagian dalam pemberian kuasa yaitu :
1. i. Kepala surat
ii. Menyebutkan bentuk surat kuasa
a. Secara umum dan
b. Secara khusus
iii. Ada tanda tangan pemberi dan penerima kuasa diatas meterai

2. i. Substansi pemberi kuasa
iii. Identitas penerima kuasa
iv. Pihak yang di gugat
v. Kewenangan penerima kuasa.


HUKUM PERUSAHAAN

BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Di dalam masyarakat istilah Badan Hukum tidak asing lagi, yang seringdilawankan dengan istilah Badan Pribadi atau manusia, namun keduanya sama-sama sebagai subyek hukum. Dalam bahasa Belanda Badan Hukum disebutrechtspersoon. Di dalam peraturan UnaangUndang tidak ada batasan pengertian apayang disebut badan hukum itu. Namun pengertian yang sudah umum dikenal olehbeberapa ahli bahwa Badan Hukum adalah segala. sesuatu yang dapat mempunyaihak dan kewajiban, dapat melakukan perbuatan hukum, dapat menjadi subyekhukum, dapat dipertanggungjawabkan seperti halnya manusia. Badan Hukummempunyai hak dan kewajiban, harta kekayaan dan tanggung jawab yang terpisahdari orang perseorangan.
Dari beberapa sumber ditemukan beberapa pengertian Badan Hukum antaralain menurut Maijers Badan Hukum adalah meliputi segala sesuatu yang menjadipendukung hak dan kewajiban. Sedang menurut Logemann, Badan hukum adalahsuatu personifikatie (personifikaai) yaitu suatu bestendigheid (perwujudan,penjelmaan) hak dan kewuihan, Sedang menurut E. Utreht, menyatakan BadanHukum (rechrtspersoon ), yaitu badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang)menjadi pendukung hak, selanjutnya dijelaskan, bahwa badan hukum ialah setiappendukun; hak yang tidak berjiwa, atau lebih tepat yang bukan manusia.
Sedang menurut R. Subekti, Badan Hukum pada pokoknya adalah suatubadan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatanseperti manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugatdidepan hakim. R. Rochmat Soemitro mengemukakan bahwa badan hukum(rechtspersoon) ialah suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak serta kewajibanseperti orang pribadi. Sri Soedewi Maschun Sofwan menjelaskan bahwa manusiaadalah badan pribadi, itu adalah manusia tunggal. Selain dari manusia tunggal,dapat juga oleh hukum diberikan kedudukan sebagai badan pribadi kepada wujudlain, disebut badan hukum yaitu kumpulan dari orang-orang bersama-samamendirikan suatu badan (perhimpunan) dan kumpulan harta kekayaan, yangtersendirikan untuk tujuan tertentu.
Dalam ha1 badan hukum melaksanakan hak dan kewajibannya tersebutdiwakili oleh para pengurusnya yang ditunjuk sesuai dengan anggaran dasarnya.Sehingga perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan pengurusnya itu mengikatbadan hukum itu sendiri, tidak mengikat pengurusnya secara pribadi, dan yangbertanggunhjawab adalah badan hukumnya bukan pengurusnya secara pribadi,sepanjang hal itu dilakukan sesuai dengan tugas dan kewajiban yang dibebankankepada pengurus dalam anggaran dasarnya.
RUMUSAN MASALAH
1.Bagaimanakah proses pendirian sebuah Perseron Terbatas?
2.Bagaimana struktur dalam Perseroan Terbatas?
3.Bagaimana permodalan Perseroan Terbatas?











BAB II
PEMBAHASAN

1.PROSES PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS
Mengenai prosedur pendirian Perseroan Terbatas menurut KUHDdengan UUPT tahap-tahap yang harus ditempuh pada prinsipnya sama. Yaituada beberapa tahap yang harus dilakukan untuk pendirian Perseroan Terbatasantara lain, tahap pembuatan akta, pengesahan, pendaftaran dan pengumuman.
1.Tahap pembuatan akta,
Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 7 (1) UUPT dinyatakan bahwaPerseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yangdibuat dalam bahasa Indonesia.
Seperti halnya disebutkan dalam pengertian Perseroan Terbatas, bahwaPT didirikan berdasarkan perjanjian, juga menunjukkan PT harus didirikansetidaknya oleh 2 (dua) orang atau lebih, karena perjanjian setidaknyadiadakan oieh minimal 2 (dua) orang.
Disamping itu PT harus didirikan dengan akta otentik dalam hal inioleh dan dihadapan pejabat yang berwenang yaitu notaris, yang didalamnya memuat Anggaran Dasar dan keterangan lainnya. Pada saatpendirian dipersyaratkan para pendiri wajib mengambil bagian saham atau modal.
2. Tahap pengesahan
Setelah dibuat akta pendirian yang di dalamnya memuat AnggaranDasar dan keterangan lainnya, kemudian dimintakan pengesahannya.Pengesahan yang dimaksudkan disini adalah pengesahan pemerintah yangdalam hal ini oleh Menteri.
Pengesahan ini mengandung arti penting bagi pendirian PerseroanTerbatas, karena menentukan kapan Perseroan itu memperoleh statusBadan. Hukum. Dalam hal ini berdasarkan pasal 7 (6) UUPT, disebutkanbahwa Perseroan memperolah status Badan Hukum setelah AktaPendiriannya disahkan oleh Menteri, yang dalam hal ini adalah MenteriKehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Dengan demikian menurut UUPT disamping ada penegasan bahwa PTadalah Badan Hukum, juga ada penegasan kapan PT itu memperoleh statusBadan Hukum, yaitu sejak akta pendiriannya disahkan oleh Menteri.Sedangkan di dalam KUHD penegasan ini tidak ada.
Di dalam KUHD berdasarkan pasal 36 hanya disebutkan bahwasebelum Perseroan Terbatas didirikan, maka akta pendiriannya harusdimintakan pembenaran kepada Gubernur Jenderal atau Pejabat yangditunjuk untuk itu. Dari ketentuan ini masalah pengesahan pada dasarnyasama dengan pembenaran, sehingga dilihat dari persyaratan itu baik KUHDmaupun UUPT sama-sama bahwa akta pendirian Perseroan Terbatas harusdimintakan pengesahan/ pembenaran. Hanya masalah kapan Perseroanterbatas itu memperoleh status Badan Hukum dalam KUHD tidak ditegaskan, sedang dalam UUPT ditegaskan yaitu sejak diberikannya
pengesahan akta pendiriannya oleh Menteri.
Mengenai prosedur pengesahan dijelaskan dalam UUPT pasal 9 yangmenyatakan bahwa, untuk memperoleh pengesahan Menteri, para pendiribersarna-sama atau kuasanya, mengajukan permohonan tertulis denganmelampirkan Akta pendirian PT. Biasanya permohonan pengesahan inisekaligus ditangani dan diajukan oleh notarisnya yang rnembuat akta.Karena pada umumnya para pendiri tidak mau repot mengurus sendiripengesahan ini, sehingga biasanya notaris yang membuatkan akta pendiriansekaligus diminta menguruskan pengesahannya. Pengesahan tersebutsesuai pasal 9 ayat (2) harus diberikan paling lama dalam waktu 60 (enampuluh) hari setelah permohonan diterima.
Dibandingkan dengan KUHD yang tidak mengatur mengenai jangkawaktu kapan pengesahan harus diberikan sehingga pada waktu itu orangmendirikan PT dapat memakan waktu yang cukup lama, maka pengesahanmenurut UUPT ini lebih tegas dan relatif cepat sepanjang dilaksanakandengan benar. Hanya persoalannya apakah waktu 60 (enam puluh) hari itubenar-benar dapat dipenuhi atau tidak.
Proses pemberian pengesahan yang cukup lama akan menimbulkanpersoalan tersendiri, manakala Perseroan Terbatas itu sudah melaksanakankegiatannya, sedangkan status hukumnya belum jelas. Persoalan ini akantimbul berkaitan dengan tanggungjawab terutama terhadap pihak ketiga.Dalam hal ini siapakah yang harus bertanggungjawab.
Persoalan lain yang menjadi pertanyaan apabila ternyata dalam waktu60 hari itu ternyata pengesahan tidak dapat diberikan, atau ditolak, sedangsemua persyaratan telah terpenuhi sehingga tidak ada alasan untuk menolakmemberikan pengesahan, maka apakah bagi pendiri dapat mengajukanGugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bagi Pejabat yangharusnya memberikan kef..lutusan pengesahan.
Dalam hal permohonan ditolak maka penolakan itu harus disampaikansecara tertulis kepada pemohon beserta alasannya, juga dalam waktu 60(enam puluh) hari.
Dengan ketentuan batas waktu 60 hari itu memang akan mempermudahdan mempercepat dan yang lebih penting lebih efisien, sehingga bataswaktu ini benar-benar dapat dipenuhi.
3. Pendaftaran dan Pengumuman
Di dalam UUPT pendaftaran dan pengumuman dijadikan satu dalamsatu bagian ketentuan yaitu bagian ketiga pasal 21, 22, dan 23. Yang perludiperhatikan mengenai pendaftaran dan pengumuman menurut UUPT iniadalah bahwa yang dimaksud pendaftaran disini adalah, pendaftaran dalamDaftar Perusahaan, yang di dalam penjelasannya dijelaskan bahwa yangdimaksud dengan ”Daftar Perusahaan” adalah daftar perusahaansebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 3 Tahun 1982tentang Wajib Daftar Perusahaan. Sehingga dengan demikianpendaftarannya dilakukan di Kantor pendaftaran perusahaan yaitu di Kantor Perdagangan dan Perindustrian, yang harus dilakukan untukmemenuhi kewajiban pendaftaran perusahaan sebagaimana dimaksuddalam UU No. 3 Tahun 1982. Pendaftaran ini harus dilakukan palinglambat 30 (tiga puluh) hari setelah pengesahan atau persetujuan diberikanatau setelah tanggal penerimaan laporan.
Kemudian ketentuan lebih lanjut setelah pendirian Perseroan Terbatastersebut didaftarkan, kemudian diumumkan ke dalam Tambahan BeritaNegara Republik Indonesia. Pengumuman ini dilakukan paling lambatdalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
Dibandingkan dengan KUHD yang juga mengatur tentang pendaftarandan pengumuman, namun terdapat perbedaan yaitu bahwa di dalam KUHDpendaftaran yang dimaksudkan adalah pendaftaran di Kepaniteraan Raadvan Justitie (sekarang Pengadilan Negeri) dalam wilayah hukumnya,sedang pengumumannya di Majalah Resmi. Sehingga khususnya berkaitandengan pendaftaran, maka berdasarkan UUPT lebih sederhana karenadengan pendaftaran ke dalam Daftar Perusahaan sebagaimana dimaksudkandalam UUPT yaitu di Kantor Pendaftaran Perusahaan, berarti disampingmemenuhi kewajiban pendaftaran dalam kaitannya proses pendirian PTjuga sekaligus memenuhi kewajiban pendaftaran perusahaan sebagaimanadiwajibkan dalam UU nomor 3 Tahun 1982. Sedang dalam KUHDpendaftaran di Kepaniteraan Pengadilan negeri berarti masih harusmemenuhi kewajiban pendaftaran perusahaan sebagaimana diwajibkan
dalam UU nomor 3 Tahun 1982 seperti halnya kewajiban pendaftaran
perusahaan pada umumnya.

2.STRUKTUR DALAM PERSEROAN TERBATAS
Sebagai badan hukum maka dalam melaksanakan kepengurusanPerseroan Terbatas mempunyai organ, yang terdiri Rapat Umum PemegangSaham (RUPS). Direksi (Pengurus), dan Komisaris, sebagaimana disebutkandalam pasal 1 (2) UUPT.
Dibandingkan dengan ketentuan dalam KUHD terdapat perbedaankhususnya yang berkaitan dengan pengurus, sebagaimana dijelaskan dalampasal 44 KUHD bahwa Perseroan diurus oleh pengurus, dengan atau tidakdengan komisaris atau pengawas. Dari ketentuan tersebut menurut KUHD,Komisaris/pengawas bukan merupakan suatu keharusan, hal ini dapat dilihatdari kalimat dengan atau tidak dengan komisaris, yang mengandung maknatidak harus.
Sedangkan menurut UUPT komisaris merupakan salah satu organperseroan yang harus ada, bahkan di dalam ketentuan selanjutnya bagiPerseroan yang bidang usahanya mengerahkan dana masyarakat, menerbitkansurat pengakuan utang atau Perseroan Terbuka wajib mempunyai palingsedikit 2 (dua) orang Pengurus dan 2 (dua) orang Komisaris. Masing-masingorgan PT tersebut mempunyai tugas dan kewenangan sendiri-sendiri, yaitu :
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah organ perseroan yang
memegang kekuasaan tertinggi dalam Perseroan dan memegang segala kewenangan yang tidak diserahkan kepada Direksi atau komisaris.Dengan demikian RUPS merupakan organ yang tertinggi di dalamPerseroan. RUPS terdiri dari rapat Tahunan dan rapat-rapat lainnya. Didalam RUPS ini setiap saham yang dikeluarkan mempunyai satu haksuara, kecuali Anggaran Dasar menentukan lain.
Direksi atau pengurus adalah organ Perseroan yang bertangggung
jawab penuh atas kepengurusan perseroan untuk kepentingan.dan tujuanperseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luarPengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar. Dengan demikiankepengurusan Perseroan dilakukan oleh Direksi yang diangkat olehRUPS sesuai dengan Anggaran Dasarnya. Sebagaimana ditegaskan dalampasal 82 UUPT bahwa Direksi bertanggung jawab penuh ataskepengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan sertamewakiti perseroan baik di dalam maupun di luar Pengadilan. Dalam halini terlihat adanya dua sisi tanggungjawab, yaitu :
Pertama, Tanggungjawab intern/kedalam, yaitu berkaitan dengan kepe-ngurusan jalannya dan maju mundurnya perseroan maka direksibertanggungjawab penuh. Artinya apabila Perseroan mengalami kerugianakibat dari kesalahan direksi dalam menjalankan kepengurusannya, makapengurus bertanggungjawab. Dalam menyampaikan pertanggungjawabanintern ini direksi dapat melalui RUPS, sebagai organ tertinggi dalamPerseroan. Dengan demikian tanggungjawab intern ini lebih kepada
tanggungjawab Direksi dalam mencapai tujuan perseroan, sehingga iaharus bertanggungjawab kepada pemilik perseroan yaitu pemegang saham.Kedua, Tanggungjawab keluar, yaitu tanggungjawab terhadap pihak keti-ga, atau kepada siapa Perseroan itu melakukan perbuatan atau perjanjian.Dalam hal ini kedudukan pengurus menjalankan tugas kepengurusannyaadalah sebagai wakil yang bertindak untuk dan atas nama Perseroan.Sehingga tanggung jawab terhadap pihak ketiga, yang terikat adalah PT,bukan pengurus secara pribadi, sepanjang dilakukan berdasarkan etikadbaik, sesuai dengan tugas dan kewenangannya, untuk kepentingan dantujuan perseroan berdasarkan Anggaran dasar. Namun apabila direksimelakukan kesalahan dan lalai dalam menjalankan tugasnya direksi dapatdipertanggung jawabkan secara pribadi. Tanggungjawab ini baik secarapidana maupun secara perdata. Hal ini ditentukan dalam pasal 85 UUPTyang antara lain menyebutkan, bahwa setiap direksi wajib dengan etikadbaik dan penuh tanggungjawab menjalankan tugas untuk kepentingan danusaha perseroan. Setiap anggota Direksi bertanggungjawab penuh secarapribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankantugasnya.
Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan
secara umum dan atau khusus serta memberikan nasehat kepada Direksidalam menjalankan Perseroan. Wewenang dan kewajiban Komisarisditetapkan dalam Anggaran dasar. Seperti hallnya Pengurus, makaKomisaris dalam menjalankan tugasnya wajib dengan etikad baik dan penuh tanggungjawab menjalankan tugasnya untuk kepentingan dan usahaperseroan. Dengan demikian apabila Komisaris dalam menjalankantugasnya dengan etikad baik, dan menimbulkan kerugian maka Komisarisdapat dipertangungjawabkan secara pribadi.

3. PERMODALAN PERSEROAN TERBATAS
Sebagaimana dijelaskan dalam UUPT bahwa modal Perseroan Ter-batas terbagi dalam saham-saham, yang masing-masing saham mempunyainominal tertentu. Keikutsertaan modal bagi pendiri menurut UUPTmerupakan suatu keharusan, sebagaimana ditentukan dalam pasal 7 (2)bahwa setiap pendiri PT wajib mengambil bagian saham pada saatperseroan didirikan. Untuk mendirikan Perseroan Terbatas harus adamodal dasar paling sedikit Rp. 20.000.000,-- (duapuluh juta rupiah),sebagaimana ditentukan dalam pasal 25 (1) UIJPT.
Dibandingkan dengan KUHD mengenai batas minimal modal dasartidak ditentukan. Dengan ketentuan batas minimal modal dasar inimemang dalam perkembangannya harus ada penyesuaian, karena nilairupiah yang selalu tidak stabil dan mengalami perubahan, sehingga batasminimal ini untuk beberapa tahun yang akan datang sudah tidak sesuai lagi.
Disamping batas minimal modal dasar juga ditentukan bahwa, padasaat pendirian Perseroan, paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) darimodal dasar harus sudah ditempatkan, dan setiap penempatan modal tersebut harus sudah disetor paling sedikit 50% (lima puluh persen) dannilai nominal setiap saham yang dikeluarkan, dan seluruh saham yangtelah dikeluarkan harus sudah disetor penuh pada saat pengesahanperseroan dengan bukti penyetoran yang sah. Sedangkan pengeluaransaham selanjutnya setiap kali harus disetor penuh.
Dari ketentuan permodalan ini menggambarkan bahwa para pendiriperseroan tidak hanya sekedar mendirikan perseroan saja, tapi ia jugaharus henar-benar turut serta dalam permodalan perseroan yang dengansendirinya turut bertanggungjawab atas jalannya perseroan













BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari beberapa penjelasan di bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan:
1.Mengenai prosedur pendirian Perseroan Terbatas menurut KUHD denganUUPT tahap-tahap yang harus ditempuh pada prinsipnya sama. Yaitu adabeberapa tahap yang harus dilakukan untuk pendirian Perseroan Terbatasantara lain, tahap pembuatan akta, pengesahan, pendaftaran dan pengumuman.
2.Sebagai badan hukum maka dalam melaksanakan kepengurusan PerseroanTerbatas mempunyai organ, yang terdiri Rapat Umum Pemegang Saham(RUPS). Direksi (Pengurus), dan Komisaris, sebagaimana disebutkan dalampasal 1 (2) UUPT.
3.Untuk mendirikan Perseroan Terbatas harus ada modal dasar paling sedikitRp. 20.000.000,-- (dua puluh juta rupiah), sebagaimana ditentukan dalampasal 25 (1) UIJPT.
Disamping batas minimal modal dasar juga ditentukan bahwa, pada saatpendirian Perseroan, paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modaldasar harus sudah ditempatkan, dan setiap penempatan modal tersebut harussudah disetor paling sedikit 50% (lima puluh persen) dan nilai nominalsetiap saham yang dikeluarkan, dan seluruh saham yang telah dikeluarkanharus sudah disetor penuh pada saat pengesahan perseroan dengan bukti
penyetoran yang sah. Sedangkan pengeluaran saham selanjutnya setiap kali
harus disetor penuh.



DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2006
Chidir Ali, SH, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1987, Paramita, 2002.
Pieter Tedu Bataona, SH, Mengenal Pasar Modal Dan Tata Urutan
Perdagangan Efek Serta Bentuk-Bentuk Preusan Di Indonesia, Nusa Indah ,
Flores-NTT, 1994
Purwosutjipto, H.M.N, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2,
Jakarta: Djambatan, 1988
R. Murjiyanto, SH, Pengantar Hukum Dagang , Yoyakarta: Liberty, 2002
R. Soebekti dan R. Tjitrosubio, Kutab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta:
Pradnya
Undang – Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas


HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA

HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA
I. Pendahuluan
Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hulum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa (BW).[1] Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.
Kita sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentu mendambakan adanya hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional (seperti halnya hukum perkawinan dengan UU Nomor 2 Tahun1974), yang sesuai dengan bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan sessuai pula dengan aspirasi yang benar-benar hidup di masyarakat.
Karena itu menginggat bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam.[2]Yang tentunya mengharapkan berlakunya hukum Islam di Indonesia, termasuk hukum warisnya bagi mereka yang beragama Islam, maka sudah selayaknya di dalam menyusun hukum waris nasional nanti dapatlah kiranya ketentuan-ketentuan pokok hukum waris Islam dimasukkan ke dalamnya, dengan memperhatikan pula pola budaya atau adat yang hidup di masyarakat yang bersangkutan.[3]
II. Pembahasan tentang Hukum Waris Islam
Setiap masalah yang dihadapi oleh manusia ada hukumya (wajib, sunat, haram,mubah), di samping ada pula hikmahnya atau motif hukumnya. Namun, hanya sebagian kecil saja masalah-masalah yang telah ditunjukan oleh Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang jelas dan pasti (clear dan fix statement), sedangkan sebagian besar masalah-masalah itu tidak disinggung dalam Al-Qur’an atau sunnah secara eksplisit, atau disinggung tetapi tidak dengan keterangan yang jelas dan pasti.
Hal yang demikian itu tidak berarti Allah dan Rasul-nya lupa atau lengah dalam mengatur syariat Islam tetapi justru itulah menunjukan kebijakan Allah dan Rasul-nya yang sanggat tinggi atau tepat dan merupakan blessing in disguise bagi umat manusia. Sebab masalah-masalah yang belum atau tidak ditunjukkan oleh Al-Qur’an atau sunnah itu diserahkan kepada pemerintah, ulama atau cendekiawan Muslim, dan ahlul hilli wal ‘aqdi (orang-orang yang punya keahlian menganalisa dan memecahkan masalah) untuk melakukan pengkajian atau ijtihad guna menetaplan hukumnya, yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat dan perkemmbangan kemajuannya.[4]
Masalah-masalah yang menyangkut warisan seperti halnya masalah-msalah lain yang dihadpi manusia ada yang sudah dijelaskan permasalahannya dalam Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang kongkret, sehingga tidak timbul macam-macam interpretasi, bahkan mencapai ijma’ (konsensus) di kalangan ulama dan umat Islam. Misalnya kedudukan suami istri, bapak, ibu dan anak (lelaki atu perempuan) sebagai ahli waris yang tidak bisa tertutup oleh ahli waris lainnya dan juga hak bagiannya masing-masing.[5]
Selain dari itu masih banyak masalah warisan yang dipersoalkan atau diperselisihkan. Misalnya ahli waris yang hanya terdiri dari dua anak perempuan. Menurut kebanyakan ulama, kedua anak perempuan tersebut mendapat bagian dua pertiga, sedangkan menurut Ibnu Abbas, seorang ahli tafsir terkenal, kedua anak tersebut berhak hanya setengah dari harta pusaka.[6] Demikian pula kedudukan cucu dari anak perempuan sebagai ahli waris, sebagai ahli waris jika melalui garis perempuan, sedangkan menurut syiah, cucu baik melalui garis lelaki maupun garis perempuan sama-sama berhak dalam warisan.[7]
Penyebab timbulnya bermacam-macam pendapat dan fatwa hukum dalam berbagai masalah waris adalah cukup banyak.[8] Tetapi ada dua hal yang menjadi penyebab utamanya, yakni :
1. Metode dan pendekatan yang digunakan oleh ulama dalam melakukan ijtihad berbeda; dan
2. Kondisi masyarakat dan waktu kapan ulama melakukan ijtihad juga berbeda.
Hal-hal tersebut itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai mazhab atau aliran dalam hukum fiqh Islam, termasuk hukum waris. Maka dengan maksud mempersatukan dan memudahkan umat Islam dalam mencari kitab pegangan hukum Islam, Ibnu Muqqafa (wafat tahun 762 M) menyarankan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur agar disusun sebuah Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah,dan ra’yu yang sesuai dengan keadilan dan kemaslahatan umat. Khalifah Al-Mansur mendukung gagasan tersebut. Namun gagasan tersebut tak mendapat respon yang positif dari ulama pada waktu itu, karena ulama tak mau memaksakan pahamnya untuk diikuti umat, karena mereka menyadari bahwa hasil ijtihadnya belum tentu benar. Imam Malik juga pernah didesak oleh Khalifah Al-Mansur dan Harun al-Rasyid untuk menyusun sebuah kitab untuk menjadi pegangan umat Islam, karena setiap bangsa atau umat mempunyai pemimpin-pemimpin yang lebih tahu tentang hukum-hukum yang cocok dengan bangsa atau umatnya.
Turki adalah negara Islam yang dapat dipadang sebagai pelopor menyusun UU Hukum Keluarga (1326 H) yang berlaku secara nasional, dan materinya kebanyakan diambil dari maznab Hanafi, yang dianut oleh kebanyakan penduduk Turki.
Di Mesir, pemrintah membentuk sebuah badan resmi terdiri dari para ulama dan ahli hukum yang bertugas menyusun rancangan berbagai undang-undang yang diambil dari hukum fiqh Islam tanpa terikat suatu mazhab dengan memperhatikan kemaslahatan dan kemajuan zaman. Maka dapat dikeluarkan UU Nomor. 26 tahun 1920, UU Nomor 56 tahun 1923, dan UU Nomor 25 Tahun 1929, ketiga UU tersebut mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, nafkah, idah, nasab, mahar, pemeliharaan anak dan sebagainya. Hanya UU pertama yang masih diambil dari mazhab empat, sedangkan UU kedua dan ketiga sudah tidak terikat sama sekali dengan mazhab empat. Misal pasal tentang batas minimal usia kawin dan menjatuhkan talak tiga kali sekaligus hanya diputus jatuh sekali. Kemudian tahun 1926 sidang kabinet atau usul Menteri Kehakiman (Wazirul ‘Adl menurut istilah disana) membentuk sebuah badan yang bertugas menyusun rancangan UU tentang Al-Akhwal al-Syakhsiyyah, UU wakaf, waris, wasiat dan sebagainya. Maka keluarnya UU Nomor 77 Tahun 1942 tentang waris secara lengkap. Di dalam UU waris ini terdapat beberapa ketentuan yang mengubah praktek selama ini. Misalnya saudara si mati (lelaki atau permpuan) tidak terhalang oleh kakek, tetapi mereka bisa mewarisi bersama dengan kakek. Demikian pula pembunuhan yang tak sengaja menggugurkan hak seseorang sebagai ahli waris.[9]
Di Indonesia hingga kini belum pernah tersusun Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap tentang Al-Akhwal al-Syakhsyiyah termasuk hukum waris, yang tidak berorientasi dengan mazhab, tetapi berorientasi dengan kemaslahatan dan kemajuan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, baik penyusunannya itu dilakukan oleh lembaga pemerintah atau lembaga swasta ataupun olah perorangan (seorang ulama).
III. Pelaksanaan Hukum Waris Islam di Indonesia
Sejak berdirinya kerajaan-krajaan Islam di Nusantara (Demak dan sebagainya) dan juga pada zaman VOC, hukum Islam sudah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia sebagai konsekuensi iman dan penerimaan mereka terhadap agama Islam.
Karena itu, pada waktu pemerintah kolonial Belanda mendirikan Pengadilan Agama.[10] Di Jawa dan Madura pada tauhun1882 (Stb. 1882 Nomor 152) para pejabatnya telah dapat menentukan sendiri perkara-perkara apa yang menjadi wewenangnya, yakni semua perkara yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah, sedekah,Baitul Mal, dan wakaf.[11] Sekalipun wewenang Pengadilan Agama tersebut tidak ditentukan dengan jelas.
Pada tahun 1937, wewenang pengadilan agama mengadili perkara waris dicabut dengan keluarnya Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 untuk jawa dan Madura dan Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan.[12]
Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan sampai Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia belum terbentuk secara resmi. Namun ia (pengadilan agama) tetap menjalankan tugasnya sebagai bagian dari Pengadilan Adat atau Pengadilan Sultan. Baru pada tahun1957 diundangkan PP Nomor 45 Tahun1957 yang mengatur Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan dengan wewenang yang lebih luas, yaitu disamping kasus-kasus sengketa tentang perkawinan juga mempunyai wewenang atas waris, hadhanah, wakaf, sedekah, danBaitul Mal. Tetapi peraturan yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan Agama harus dikuatkan oleh Pengadilan Umum tetap berlaku.[13]
Menurut Daniel D. Lov, seorang sarjana Amerika yang menulis buku Islamic Courts in Indonesia, hasil penelitiannya pada Pengadilan Agama di Indonesia, bahwa pengadilan agama di Jawa dan Madura sekalipun telah kehilangan kekuasaanya atas perkara waris tahun 1937, namun dalam kenyataanya masih tetap menyelesaikan perkara-perkara waris dengan cara-cara yang sangat mengesankan. Hal ini terbukti, bahwa Islam lebih banyak yang mengajukan perkara waris ke Pengadilan Agama daripada ke Pengadilan Negeri.[14] Dan penetapan Pengadilan Agama itu sekalipun hanya berupa fatwa waris yang tidak mempunyai kekuatan hukum, tetapi kebanyakan fatwa-fatwa warisnya diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Bahkan di Jawa sudah sejak lama fatwa waris Pengadilan Agama diterima oleh notaris dan para hakim Pengadilan Negeri sebagai alat pembuktian yang sah atas hak milik dan tuntutan yang berkenaan dengan itu. Demikian pula halnya dengan pejabat pendaftaran tanah di Kantor Agraria.[15]
Pada tahun 1977/1978 Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universita Indonesia mengadakan penelitian di lima daerah, yakni D.I. Aceh, Jambi, Palembang, DKI Jaya, dan Jawa Barat. Dan hasilnya antara lain adalah sebagai berikut :
1. Masyarakat Islam di lima daerah tersebut yang menghendaki berlakunya hukum waris Islam untuk mereka sebanyak 91,35%, sedang yang menghendaki berlakunya hukum waris adat sebanyak 6,65%
2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama 77,16%, sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri 15,5%
Kemudian kedua lembaga tersebut di atas mengadakan penelitian pada tahun 1978/1979 di sembilan daerah, yakni : Jakarta Barat, Kota Cirebon, Kota Serang, Kota Pekalongan, Kota Semarang, Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Mataram dan sekitarnya, N.T.B., dan Kota Banjarmasin. Dan hasilnya antara lain adalah sebagai berikut :
1. Masyakarat Islam di sembilan daerah tersebut yang menghendaki berlakunya hukum waris Islam untuk mereka sebanyak 82,9%, sedangkan yang menghendaki berlakunya hukum waris adat bagi mereka hanya 11,7%
2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama mengadili kasus warisnya sebanyak 68,3%, sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri sebanyak 27,7%.
Karena itu apabila sengketa warus yang terjadi antara orang Islam diajukan ke Pengadilan Negeri, maka seharusnya diputus menurut hukum waris Islam sesuai dengan agama yang bersangkutan berdasarkan isi pasal 131 dan juga Keputusan Mahkamah Agung Nomor 109K/Sip/1960 tanggal 20-9-1960, yang menyatakan bagi golongan pribumi berlaku hukum adat, sedangkan hukum faraid (hukum waris Islam) diberlakuka sebagai hukum adat, karena merupakan the living law dan menjadi cita-cita moral dan hukum bangsa Indonesia.[16]
Karena itu, patut disesalkan apabila kasus-kasus warisan keluarga Muslim seperti kasus warisan H. Subhan Z.E. diputus oleh Pengadilan Negeri menurut hukum adat pada tanggal 16 Maret 1973 (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dengan pertimbangan antara lain, “Walupun pewaris/almarhum H. Mas Subhan adalah seorang tokoh Islam di Indonesia tidak berarti dapat diberlakukan hukum waris Islam oleh karena almarhum/pewaris berasal dan tempat tinggal di Jawa”.
Jelaslah, bahwa hakim Pengadilan Negeri yang mengadili kasus H. Subhan Z.E. tersebut masih menganut teori resepsi yang telah “usang” itu. Sebab UUD 1945 sebagai konstitusi RI dengan sendirinya telah menghapus Indische Staatsregeling sebagai konstitusi yang dibuat pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.[17]Sebagai salah satu fakta yang menunjukkan teori resepsi telah ditinggalkan, ialah UU Perkawinan Nomor 1/1974. Sebab di dalamnya terdapat beberapa pasal dan penjelasannya yang menunjukkan peranan agama untuk sahnya perkawinan dan perjanjian perkawinan dan sebagainya tanpa ada embel-embel “yang telah diterima oleh hukum ada”.[18]
IV. Penutup
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, dapatlah disampaikan beberapa kesimpulan dan saran/harapan sebagai berikut :
1. Hukum Islam khususnya hukum keluarganya termasuk hukum warisnya telah lama dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia atas dasar kemauan sendiri sebagai konsekuensi iman dan penerimaan mereka terhadap agama Islam. Karena itu, hukum Islam tersebut hendaknya dijadikan sumber yang utama untuk pembentukan hukum nasional (mengingat mayoritas penduduk Indonesiaberagama Islam dan kesadaran hukum agamanya), di samping hukum-hukum lain yang hidup di negara Indonesia
2. Di Indonesia hingga kini belum ada kitab/himpuna hukum Islam yang lengkap terutama mengenai hukum keluarga Islam termasuk hukum waris Islam Indonesia, baik yang tradisional maupun yang modern. Karena itu, hendaknya para ulama dan cendekiawan Muslim segera menyusun Himpunan Hukum Islam tersebut tanpa terikat dengan suatu madzhab tertentu, tetapi hukum Islam tersebut harus bisa memenuhi rasa keadilan, sesuai dengan kemaslahatan umat, dan kemajuan zaman.
3. Akibat politik hukum pemerintah kolonial Belanda yang hendak mengikis habis pengaruh Islam dari negara jajahannya – Indonesia, maka secara sistematis step by step Belanda mencabut hukum Islam dari lingkungan tata-hukum Hindia Belanda. Dan akibat politik hukum Belanda yang sadis itu masih dirasakan oleh umat IslamIndonesia sampai sekarang. Karena itu, sesuai dengan semangat Orde Baru yang bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen dan murni, maka hendaknya produk-produk hukum warisan kolonial dan warisan Orde Lama, dapat segera dicabut dan diganti dengan hukum nasional yang bisa memenuhi rasa keadilan dan kesadaran hukum rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
4. Khusus hukum waris Islam yang ternyata diterima dan dikehendaki berlakunya oleh umat Islam di semua daerah yang telah diteliti oleh BPHN dan Fakultas Hukum UI pada tahun 1977-1979, dan praktek-praktel Pengadilan Agama dalam hukum waris Islam yang sangat mengesankan; maka sesuai dengan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, hendaknya kedudukan dan wewenang Pengadilan Agama disejajarkan dengan Pengadilan Negeri. Karena itu, UU tentang Struktur dan Yurisdiksi Pengadilan Agama yang akan diundangkan nanti benar-benar menempatkan kedudukan Pengadilan Agama sejajar dengan Pengadilan Negeri dan wewenang Pengadilan Agama sekurang-kurangnya dikembalikan seperti semula sebelum ada teori resepsi Snouck Hurgronje. Sebab teori resepsi ini bertentangan dengan ajaran Islam. Sebaliknya teori reception in complexuvan de Berg itulah yang sesuai dengan ajaran Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980.
Biro Pusat Statistik, Penduduk Indonesia Menurut Propinsi, Seri L No. 3, Tabel 6. Cf. Tabel 9.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, Yogyakarta, Nur Cahaya, 1983. Cf. Sajuti Thalib, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam), Jakarta, Bina Aksara, 1982.
Muhammad Sallam Madkur, Al-Magkhal lil Fiqh al-Islamy, Cairo, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1960
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975.
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta, Gunung Agung, 1984.
Masjfuk Zuhdi, Ijtihad dan Problematikanya dalam Memasuki Abad XV Hijriyah, Surabaya, Bina Ilmu, 1981.
___________, “Pelaksanaan Hukum Faraid di Indonesia”, Al-Mizan, No. 2 Tahun I, 1983.
Notosusanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta, B.P. Gadjah Mada, 1963.
Bustanul Arifin, “Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia”, Al-Mizan, Nomor 3 Tahun I, 1983.
Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta, Yayasan Risalah, 1984.


[1] Mengenai hukum Islam, hukum adat, hukum Eropa yang berlaku di Indonesia dewasa ini, vide Moch. Koesnoe,Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980, hlm. 1-20
[2] Berdasarkan sensus penduduk tahun 1980, penduduk Indonesia menurut agama berjumlah 147.490.298 jiwa yang beragama Islam 125.462.176 jiwa (87,09%), vide Biro Pusat Statistik, Penduduk Indonesia Menurut Propinsi, Seri L No. 3, Tabel 6, hlm. 20-21. Cf. Tabel 9, hlm. 26-27
[3] Mengenai pandangan Islam terhadap adat/hukum adat, vide Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, Yogyakarta, Nur Cahaya, 1983, hlm. 27-34. Cf. Sajuti Thalib, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam), Jakarta, Bina Aksara, 1982, hlm/ 65-70
[4] Vide Muhammad Sallam Madkur, Al-Magkhal lil Fiqh al-Islamy, Cairo, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1960, hlm. 211-212. Dan untuk memahami/mencari hikmah di balik ketetapan suatu hukum Islam, vide M. Hasbi Ash-Shiddieqy,Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, hlm. 380-404
[5] Perhatikan al-Qur’an Surat al-Nisa ayat 11 dan 12
[6] Vide Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta, Gunung Agung, 1984, hlm. 66
[7] Ibid., hlm. 57
[8] Mengenai sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat/fatwa hukum, vide Masjfuk Zuhdi, Ijtihad dan Problematikanya dalam Memasuki Abad XV Hijriyah, Surabaya, Bina Ilmu, 1981, hlm. 16-17. Dan mengenai metode ijtihad yang dipakai oleh Imam Mazhab Empat, Ibid., hlm. 22-26
[9] Vide Muhammad Sallam Madkur, op.cit., hlm. 118-127
[10] Nama resminya Priester Road (Pengadilan Pendeta), nama yang asing bagi umat Islam Indonesia sendiri, dan pemberian nama yang salah, karena Islam tak mengenal kependetaan, sebab Islam punya prinsip equality before God.
[11] Vide Notosusanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta, B.P. Gadjah Mada, 1963, hlm. 10
[12] Perhatikan pasal 2a Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 dan pasal 3 Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 yang menetapkan yurisdiksi Pengadilan Agama di Jawa-Madura dan Pengadilan Agama di Kalimantan Selatan.
[13] Bustanul Arifin, “Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia”, Al-Mizan, Nomor 3 Tahun I, 1983, hlm. 24-25
[14] Ny. Habibah Daud mengadakan penelitian di DKI Jakarta pada tahun 1976, dan hasilnya bahwa dari 1081 orang hanya 47 orang yang mengajukan perkara waris ke Pengadilan Negeri (4,35%), dan 1034 orang (96,65%) mengajukan perkara waris ke Pengadilan Agama. Vide Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta, Yayasan Risalah, 1984m hlm. 24-25
[15] Ibid., hlm. 25
[16] Vide Masjfuk Zuhdi, “Pelaksanaan Hukum Faraid di Indonesia”, Al-Mizan, No. 2 Tahun I, 1983, hlm. 39-40
[17] Yang pro dan yang kontra terhadap teori resepsi Snouck Hurgronje dengan argumentasinya masing-masing,vide Sajuti Thalib, op.cit., hlm. 19-23, dan hlm. 65-72
[18] Perhatikan pasal 2 (sahnya perkawinan) pasal 29 (sahnya perjanjian perkawinan), dan penjelasan pasal 37 (harta benda suami istri yang cerai) menunjukkan berlakunya hukum agama termasuk hukum Islam Indonesia tanpa harus disandarkan berlakunya hukum Islam tersebut pada hukum adat, tetapi cukup berdasarkan secara langsung peraturan UU yang bersangkutan dalam hal ini UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.