Sunday 12 October 2014

PERSEKUTUAN DENGAN FIRMA

PERSEKUTUAN DENGAN FIRMA

A.    Pengertian Persekutuan dengan Firma
Menurut Pasal 16 KUHD, persekutuan dengan firma (Fa) adalah persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan perusahaan dengan nama bersama.
Dengan demikian, persekutuan dengan firma adalah persekutuan perdata khusus. Kekhususannya terletak pada tiga unsur mutlak sebagai tambahan persekutuan perdata, yakni:[41]
1.      menjalankan perusahaan (Pasal 16 KUHD);
2.      dengan nama bersama atau firma (Pasal 16 KUHD); dan
3.      tanggung jawab sekutu bersifat pribadi untuk keseluruhan (Pasal 18 KUHD).
Firma artinya nama bersama, yakni nama seorang sekutu yang dipergunakan menjadi nama perusahaan (dalam hal ini Fa). Menurut putusan Raad van Justitie (RvJ) Batavial 2 September 1921, nama bersama atau firma itu dapat diambil dari nama:
1.      nama salah seorang sekutu, misalnya “Fa. Abdul Azis”;
2.      nama salah seorang sekutu dengan tambahan, misalnya “Fa. Abdul Azis Bersaudara” atau “Fa. Abdul Azis dan Kawan”;
3.      kumpulan nama para sekutu atau sebagian sekutu, misalnya “Firma Hukum Issari” (sebagai singkatan nama para sekutu, yaitu Irene, Sony, Santi, Anto, Ridwan, dan Idot); atau
4.      nama lain yang bukan nama sekutu atau keluarga, misalnya nama yang berkaitan dengan tujuan perusahaan, misalnya “Fa. Perdagangan Hasil Bumi”.
Terhadap butir keempat di atas dapat diberikan beberapa catatan. Penyebutan nama fiktif (blue sky name) sebagai nama perusahaan tidak sesuai dengan jiwa persekutuan dengan firma. Firma artinya nama bersama yang berasal dari nama sekutu. Jika persekutuan firma didirikan oleh Arman dan Armin, maka persekutuan dapat menggunakan nama bersama Fa Arman dan Armin. Dapat pula digunakan nama bersama Fa Armin dan Rekan, Firma Arman & Partners, Firma Armin & Associates, atau Firma Armin Bersaudara, atau Firma AA.
 Salah satu kekhususan persekutuan firma adalah menjalankan perusahaan, maka jika ada advokat atau pengacara yang menjalankan profesinya dengan firma, firma tersebut harus dimaksudkan untuk mencari keuntungan. Jika kantor hukum tersebut didirikan dengan tujuan utama untuk memberi advokasi kepada masyarakat miskin, tentu tidak tepat dijalankan dalam persekutuan dengan firma.
Dalam praktik dewasa ini, persekutuan dengan firma lebih banyak digunakan untuk kegiatan menjalankan profesi, seperti advokat, akuntan, dan arsitek daripada untuk kegiatan komersial dalam bidang industri dan perdagangan. Pengusaha umumnya lebih menyukai bentuk persekutuan komanditer dan perseroan terbatas.

B.     Pendirian Firma
Pendirian firma sebenarnya tidak terikat pada bentuk tertentu.. Artinya, ia dapat didirikan secara lisan atau tertulis baik dengan akta otentik ataupun akta di bawah tangan. Di dalam praktek, masyarakat lebih suka menuangkan pendirian firma itu dengan akta otentik, yakni akta notaris, karena erat kaitannya dengan masalah pembuktian.[42]
Menurut Pasal 22 KUHD, persekutuan dengan firma harus didirikan dengan akta otentik, tetapi ketiadaan akta tersebut tidak boleh dikemukakan sebagai dalih yang dapat merugikan pihak ketiga. Keharusan tersebut rupanya tidak mutlak. Bahkan, menurut Rudhi Prasetya, pada dasarnya perjanjian untuk mendirikan firma bebas bentuk. Artinya, tidak mutlak dengan suatu akta dengan ancaman ketidakabsahan manakala bentuk itu tidak diikuti.[43] Akta tersebut lebih merupakan bukti adanya persekutuan firma.
Dengan demikian, pada dasarnya firma itu sudah ada dengan adanya kesepakatan diantara para pendirinya, terlepas dari bagaimana cara mendirikannya. Menurut Pasal 23 KUHD, segera sesudah akta pendirian tersebut dibuat, maka akta itu harus didaftarkan di kepaniteraan pengadilan negeri di mana firma tersebut berkedudukan.
Setelah akta pendirian tersebut didaftarkan di kepaniteraan pengadilan negeri tersebut, tahap berikutnya adalah mengumumkan ikhtisar akta pendirian dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
Kewajiban untuk mendaftarkan dan mengumumkan tersebut merupakan keharusan yang bersanksi, karena selama pendaftaran dan pengumuman tersebut belum dilaksanakan, maka pihak ketiga dapat menganggap firma itu sebagai persekutuan umum, yakni persekutuan firma yang:[44]
1.      menjalankan segala macam urusan;
2.      didirikan untuk waktu yang tidak terbatas; dan
3.      tidak ada seorang sekutu pun yang dikecualikan dari kewenangan bertindak dan menandatangani surat bagi persekutuan firma tersebut.

C.    Status Hukum Persekutuan dengan Firma
Pada umumnya dikatakan bahwa firma merupakan perusahaan yang tidak berbadan hukum. Persyaratan agar suatu badan dapat dikatakan berstatus badan hukum meliputi keharusan:[45]
1.      adanya harta kekayaan (hak-hak) dengan tujuan tertentu yang terpisah dengan kekayaan pribadi para sekutu atau pen diri badan itu. Tegasnya ada pemisahan kekayaan perusahaan dengan kekayaan pribadi para sekutu;
2.      kepentingan yang menjadi tujuan adalah kepentingan bersama;
3.      adanya beberapa orang sebagai pengurus badan tersebut.
Ketiga unsur di atas merupakan unsur material (substantif) bagi suatu badan hukum. Di dalam praktiknya pendirian firma di Indonesia, walaupun firma tersebut telah memenuhi ketiga unsur materiil tersebut, tetapi unsur formalnya berupa pengesahan atau pengakuan dari negara atau peraturan perundang-undangan belum ada, firma itu bukan persekutuan yang berbadan hukum.


D.    Tanggung Jawab Sekutu
Tanggung jawab seorang sekutu dalam persekutuan firma dapat dibedakan antara tanggung jawab intern dan tanggung jawab ekstern.
Tanggung jawab intern sekutu seimbang dengan pemasukannya (inbreng). Tanggung jawab ekstern para sekutu dalam firma menurut Pasal 18 KUHD adalah tanggung jawab secara pribadi untuk keseluruhan. Artinya, setiap sekutu bertanggungjawab atas semua perikatan persekutuan, meskipun dibuat sekutu lain, termasuk perikatan-perikatan yang timbul karena perbuatan melawan hukum.[46]

E.     Pembubaran dan Pemberesan
Karena persekutuan firma sebenarnya adalah persekutuan perdata, maka mengenai bubarnya persekutuan firma berlaku ketentuan yang sama dengan persekutuan perdata, yakni Pasal 1646 sampai dengan 1652 KUHPerdata. Selain itu, berlaku juga aturan khusus yang terdapat Pasal 31 sampai dengan 35 KUHD.
Apabila pembubaran tersebut berkaitan dengan pihak ketiga, Pasal 31 ayat (1) KUHD menentukan:
“Pembubaran suatu persekutuan dengan firma yang terjadi sebelum waktu yang ditentukan dalam perjanjian atau sebagai akibat pengunduran diri atau pemberhentian, begitu juga perpanjangan waktu akibat lampaunya waktu yang ditentukan, dan pengubahan-pengubahan dalam perjanjian semula yang penting bagi pihak ketiga, semua itu harus dilakukan dengan akte otentik, didaftarkan dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia”.

Ayat (2) Pasal 31 KUHD menentukan bahwa kelalaian dalam pendaftaran dan pengumuman tersebut, berakibat tidak berlakunya pembubaran, pengunduran diri, atau pemberhentian, atau pengubahan tersebut terhadap pihak ketiga.
Kemudian ayat (3) 31 KUHD menentukan pula bahwa apabila kelalaian itu mengenai perpanjangan waktu, maka berlaku ketentuan pasal 29 KUHD. Pasal 29 KUHD sendiri memuat ketentuan bahwa pihak ketiga dapat menganggap bahwa persekutuan itu:[47]
1.        berlaku untuk jangka waktu yang tidak ditentukan;
2.        mengenai semua jenis usaha perniagaan; dan
3.        tidak ada sekutu yang dikeluarkan dari kewenangan untuk bertindak ke luar.
Di dalam Pasal 31 KUHD tidak disebutkan adanya persekutuan firma yang bubar karena lampaunya waktu yang ditetapkan dalam perjanjian pendirian persekutuan. Ini tidak berarti bahwa bubarnya persekutuan semacam itu tidak perlu diadakan pemberesan atau likuidasi. Bila suatu persekutuan firma bubar karena lampaunya waktu yang ditentukan dalam perjanjian pendirian persekutuan, maka hal itu harus  memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditentukan Pasal 31 ayat (1) KUHD.
Langkah selanjutnya setelah pembubaran persekutuan firma tersebut adalah pemberesan atau likuidasi. Mengenai persoalan siapa yang harus ditunjuk menjadi likuidator persekutuan firma tersebut dapat dilihat dari Pasal 32 KUHD[48] yang menentukan: [49]
1.        pertama-tama harus dilihat dari ketentuan-ketentuan dalam perjanjian pendirian persekutuan;
2.        jika tidak ketentuan dimaksud butir 1 di atas, sekutu-sekutu pengurus wajib melakukan pemberesan;
3.        dalam perjanjian pendirian dapat ditentukan satu atau beberapa orang bukan sekutu bertindak sebagai likuidator;
4.        para sekutu bersama-sama dengan suara terbanyak dapat menunjuk sekutu yang bukan sekutu pengurus untuk melakukan pemberesan; dan
5.        kalau suara terbanyak tidak didapat, maka sekutu-sekutu dapat meminta bantuan pengadilan untuk menetapkan likuidator.



[41] Ibid., hlm. 43. Lihat juga M. Natzir Said, op.cit., hlm 21.
[42] R.T. Sutantya R. Handhikusuma dan Sumantoro, Pengertian Pokok Hukum Perusahaan Bentuk-Bentuk Perusahaan yang Berlaku di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hlm 23.
[43] Rudhi Prasetya, op.cit., hlm 26.
[44] H.M.N. Purwosutjipto, op.cit., … Jilid 2, hlm. 46
[45] Ibid.,  hlm. 63
[46] Ibid., hlm. 59.
[47] Ibid., hlm 65.
[48] Ketentuan ini berlaku baik bagi persekutuan firma maupun persekutuan komanditer. Jika di dalam ketentuan tersebut adanya kata-kata “bukan sekutu pengurus” , maka ketentuan itu berlaku untuk persekutuan  komanditer. Persekutuan komanditer mengenal dua macam sekutu, yakni sekutu pengurus dan sekutu komanditer.
[49] H.M,N. Purwosutjipto, op.cit., Jilid II, hlm 66.

No comments:

Post a Comment