PERSEKUTUAN DENGAN FIRMA
A. Pengertian Persekutuan
dengan Firma
Menurut Pasal 16 KUHD, persekutuan dengan
firma (Fa) adalah persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan
perusahaan dengan nama bersama.
Dengan demikian, persekutuan dengan firma adalah
persekutuan perdata khusus. Kekhususannya terletak pada tiga unsur mutlak
sebagai tambahan persekutuan perdata, yakni:[41]
1.
menjalankan perusahaan (Pasal
16 KUHD);
2.
dengan nama bersama atau firma
(Pasal 16 KUHD); dan
3.
tanggung jawab sekutu bersifat
pribadi untuk keseluruhan (Pasal 18 KUHD).
Firma artinya nama bersama, yakni nama seorang sekutu
yang dipergunakan menjadi nama perusahaan (dalam hal ini Fa). Menurut putusan Raad
van Justitie (RvJ) Batavial 2
September 1921 , nama bersama atau firma itu dapat diambil dari
nama:
1.
nama salah seorang sekutu,
misalnya “Fa. Abdul Azis”;
2.
nama salah seorang sekutu
dengan tambahan, misalnya “Fa. Abdul Azis Bersaudara” atau “Fa. Abdul Azis dan
Kawan”;
3.
kumpulan nama para sekutu atau
sebagian sekutu, misalnya “Firma Hukum Issari” (sebagai singkatan nama para sekutu,
yaitu Irene, Sony, Santi, Anto, Ridwan, dan Idot); atau
4.
nama lain yang bukan nama
sekutu atau keluarga, misalnya nama yang berkaitan dengan tujuan perusahaan,
misalnya “Fa. Perdagangan Hasil Bumi”.
Terhadap butir keempat di atas dapat
diberikan beberapa catatan. Penyebutan nama fiktif (blue sky name) sebagai nama perusahaan tidak sesuai dengan jiwa
persekutuan dengan firma. Firma artinya nama bersama yang berasal dari nama
sekutu. Jika persekutuan firma didirikan oleh Arman dan Armin, maka persekutuan
dapat menggunakan nama bersama Fa Arman dan Armin. Dapat pula digunakan nama
bersama Fa Armin dan Rekan, Firma Arman & Partners, Firma Armin &
Associates, atau Firma Armin Bersaudara, atau Firma AA.
Salah satu kekhususan persekutuan firma adalah
menjalankan perusahaan, maka jika ada advokat atau pengacara yang menjalankan
profesinya dengan firma, firma tersebut harus dimaksudkan untuk mencari
keuntungan. Jika kantor hukum tersebut didirikan dengan tujuan utama untuk memberi
advokasi kepada masyarakat miskin, tentu tidak tepat dijalankan dalam
persekutuan dengan firma.
Dalam praktik dewasa ini, persekutuan
dengan firma lebih banyak digunakan untuk kegiatan menjalankan profesi, seperti
advokat, akuntan, dan arsitek daripada untuk kegiatan komersial dalam bidang
industri dan perdagangan. Pengusaha umumnya lebih menyukai bentuk persekutuan
komanditer dan perseroan terbatas.
B. Pendirian Firma
Pendirian firma sebenarnya tidak terikat pada bentuk
tertentu.. Artinya, ia dapat didirikan secara lisan atau tertulis baik dengan
akta otentik ataupun akta di bawah tangan. Di dalam praktek, masyarakat lebih
suka menuangkan pendirian firma itu dengan akta otentik, yakni akta notaris,
karena erat kaitannya dengan masalah pembuktian.[42]
Menurut Pasal 22 KUHD, persekutuan dengan firma harus
didirikan dengan akta otentik, tetapi ketiadaan akta tersebut tidak boleh
dikemukakan sebagai dalih yang dapat merugikan pihak ketiga. Keharusan tersebut
rupanya tidak mutlak. Bahkan, menurut Rudhi Prasetya, pada dasarnya perjanjian
untuk mendirikan firma bebas bentuk. Artinya, tidak mutlak dengan suatu akta
dengan ancaman ketidakabsahan manakala bentuk itu tidak diikuti.[43]
Akta tersebut lebih merupakan bukti adanya persekutuan firma.
Dengan demikian, pada dasarnya firma itu sudah ada
dengan adanya kesepakatan diantara para pendirinya, terlepas dari bagaimana
cara mendirikannya. Menurut Pasal 23 KUHD, segera sesudah akta pendirian
tersebut dibuat, maka akta itu harus didaftarkan di kepaniteraan pengadilan negeri
di mana firma tersebut berkedudukan.
Setelah akta pendirian tersebut didaftarkan di
kepaniteraan pengadilan negeri tersebut, tahap berikutnya adalah mengumumkan
ikhtisar akta pendirian dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia .
Kewajiban untuk mendaftarkan dan mengumumkan tersebut
merupakan keharusan yang bersanksi, karena selama pendaftaran dan pengumuman
tersebut belum dilaksanakan, maka pihak ketiga dapat menganggap firma itu
sebagai persekutuan umum, yakni persekutuan firma yang:[44]
1.
menjalankan segala macam
urusan;
2.
didirikan untuk waktu yang
tidak terbatas; dan
3.
tidak ada seorang sekutu pun
yang dikecualikan dari kewenangan bertindak dan menandatangani surat bagi persekutuan firma tersebut.
C. Status Hukum Persekutuan
dengan Firma
Pada umumnya dikatakan bahwa firma merupakan perusahaan
yang tidak berbadan hukum. Persyaratan agar suatu badan dapat dikatakan
berstatus badan hukum meliputi keharusan:[45]
1.
adanya harta kekayaan (hak-hak)
dengan tujuan tertentu yang terpisah dengan kekayaan pribadi para sekutu atau
pen diri badan itu. Tegasnya ada pemisahan kekayaan perusahaan dengan kekayaan
pribadi para sekutu;
2.
kepentingan yang menjadi tujuan
adalah kepentingan bersama;
3.
adanya beberapa orang sebagai
pengurus badan tersebut.
Ketiga unsur di atas merupakan unsur material (substantif)
bagi suatu badan hukum. Di dalam praktiknya pendirian firma di Indonesia ,
walaupun firma tersebut telah memenuhi ketiga unsur materiil tersebut, tetapi unsur
formalnya berupa pengesahan atau pengakuan dari negara atau peraturan perundang-undangan
belum ada, firma itu bukan persekutuan yang berbadan hukum.
D. Tanggung Jawab Sekutu
Tanggung jawab seorang sekutu dalam persekutuan firma
dapat dibedakan antara tanggung jawab intern dan tanggung jawab ekstern.
Tanggung jawab intern sekutu seimbang dengan
pemasukannya (inbreng). Tanggung
jawab ekstern para sekutu dalam firma menurut Pasal 18 KUHD adalah tanggung jawab
secara pribadi untuk keseluruhan. Artinya, setiap sekutu bertanggungjawab atas
semua perikatan persekutuan, meskipun dibuat sekutu lain, termasuk
perikatan-perikatan yang timbul karena perbuatan melawan hukum.[46]
E. Pembubaran dan Pemberesan
Karena persekutuan firma sebenarnya adalah persekutuan
perdata, maka mengenai bubarnya persekutuan firma berlaku ketentuan yang sama
dengan persekutuan perdata, yakni Pasal 1646 sampai dengan 1652 KUHPerdata.
Selain itu, berlaku juga aturan khusus yang terdapat Pasal 31 sampai dengan 35
KUHD.
Apabila pembubaran tersebut berkaitan dengan pihak
ketiga, Pasal 31 ayat (1) KUHD menentukan:
“Pembubaran suatu persekutuan dengan firma yang
terjadi sebelum waktu yang ditentukan dalam perjanjian atau sebagai akibat
pengunduran diri atau pemberhentian, begitu juga perpanjangan waktu akibat
lampaunya waktu yang ditentukan, dan pengubahan-pengubahan dalam perjanjian
semula yang penting bagi pihak ketiga, semua itu harus dilakukan dengan akte
otentik, didaftarkan dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia”.
Ayat (2) Pasal 31 KUHD menentukan bahwa kelalaian dalam
pendaftaran dan pengumuman tersebut, berakibat tidak berlakunya pembubaran,
pengunduran diri, atau pemberhentian, atau pengubahan tersebut terhadap pihak
ketiga.
Kemudian ayat (3) 31 KUHD menentukan pula bahwa apabila
kelalaian itu mengenai perpanjangan waktu, maka berlaku ketentuan pasal 29
KUHD. Pasal 29 KUHD sendiri memuat ketentuan bahwa pihak ketiga dapat
menganggap bahwa persekutuan itu:[47]
1.
berlaku untuk jangka waktu yang
tidak ditentukan;
2.
mengenai semua jenis usaha
perniagaan; dan
3.
tidak ada sekutu yang
dikeluarkan dari kewenangan untuk bertindak ke luar.
Di dalam Pasal 31 KUHD tidak disebutkan adanya
persekutuan firma yang bubar karena lampaunya waktu yang ditetapkan dalam
perjanjian pendirian persekutuan. Ini tidak berarti bahwa bubarnya persekutuan
semacam itu tidak perlu diadakan pemberesan atau likuidasi. Bila suatu
persekutuan firma bubar karena lampaunya waktu yang ditentukan dalam perjanjian
pendirian persekutuan, maka hal itu harus
memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditentukan Pasal 31 ayat (1) KUHD.
Langkah selanjutnya setelah pembubaran persekutuan firma
tersebut adalah pemberesan atau likuidasi. Mengenai persoalan siapa yang harus
ditunjuk menjadi likuidator persekutuan firma tersebut dapat dilihat dari Pasal
32 KUHD[48]
yang menentukan: [49]
1.
pertama-tama harus dilihat dari
ketentuan-ketentuan dalam perjanjian pendirian persekutuan;
2.
jika tidak ketentuan dimaksud
butir 1 di atas, sekutu-sekutu pengurus wajib melakukan pemberesan;
3.
dalam perjanjian pendirian dapat
ditentukan satu atau beberapa orang bukan sekutu bertindak sebagai likuidator;
4.
para sekutu bersama-sama dengan
suara terbanyak dapat menunjuk sekutu yang bukan sekutu pengurus untuk
melakukan pemberesan; dan
5.
kalau suara terbanyak tidak
didapat, maka sekutu-sekutu dapat meminta bantuan pengadilan untuk menetapkan
likuidator.
[41] Ibid., hlm. 43. Lihat juga M. Natzir Said, op.cit.,
hlm 21.
[42] R.T. Sutantya R. Handhikusuma dan Sumantoro, Pengertian Pokok
Hukum Perusahaan Bentuk-Bentuk Perusahaan yang Berlaku di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hlm
23.
[43] Rudhi Prasetya, op.cit., hlm
26.
[44] H.M.N. Purwosutjipto, op.cit., … Jilid 2, hlm. 46
[45] Ibid., hlm. 63
[48] Ketentuan
ini berlaku baik bagi persekutuan firma maupun persekutuan komanditer. Jika di
dalam ketentuan tersebut adanya kata-kata “bukan sekutu pengurus” , maka
ketentuan itu berlaku untuk persekutuan
komanditer. Persekutuan komanditer mengenal dua macam sekutu, yakni
sekutu pengurus dan sekutu komanditer.
No comments:
Post a Comment