MAKALAH HUKUM PIDANA ANAK
Dasar
hukum dalam makalah ini antara lain Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang
Pengesahan ILO Convention Number 138 Concerning Minimum Age for Admission to
Employment (Konversi ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja)
1.
Makna
Pelanggaran Hak Anak dan Tindak Pidana Anak.
Pelanggaran
dimaknai sebagai perbuatan (perkara) melanggar, tindak pidana yang lebih ringan
dari pada kejahatan – Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1996. halaman 561 Hak anak
dengan merujuk Undang-undang Perlindungan Anak pada pasal 1 angka 12
mendefinisikan hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib
dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan negara.
Dengan
berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip dasar Konvensi
Hak-hak Anak sebagai konsekuensi logis dan yuridisnya maka merupakan hal mutlak
(conditio sine quanon) adanya penyelenggaraan perlindungan anak yang meliputi :
non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup
kelangsungan hidup dan perkembangannya, dan penghargaan terhadap pendapat anak.
Adapun
tujuannya adalah jaminan terpenuhi hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi
terwujudnya Anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
2.
Perwujudan
HAM Anak tersebut di atas dirinci dalam berbagai kondisi :
1) Normal,
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 4 s.d. 11, 13, 15 dan 16 yaitu setiap anak
berhak :
2) Mendapat
hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan
martabat serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi – Pasal 4
3) Atas
suatu nama sebagai identitas dari status
kewarganegaraan – Pasal 5.
4) Untuk
beribadah menurut agamanya, berfikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat
kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tuanya – Pasal 6
5) Untuk
mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh orang tuanya sendiri. Jika orang
tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak atau anak dalam keadaan
terlantar.
Maka
ia berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang
lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku – Pasal 7 ayat 1 dan 2
6) Memperoleh
pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental,
spiritual dan sosial – Pasal 8.
7) Memperoleh
pendidikan dan pengajaran guna pengembangan pribadinya dan tingkat
kecerdasannya sesuai minat dan bakatnya – Pasal 9 ayat 1.
8) Menyatakan
dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi demi
pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan Pasal
10.
9) Beristirahat
dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan yang sebaya, bermain , berkreasi
sesuai minat dan bakat tingkat kecerdasan demi pengembangan dirinyaPasal 11.
10) Selama
dalam asuhan orang tua, wali atau pihak lain yang bertanggung jawab, anak
mendapat perlindungan dari perilaku : diskriminasi, ekploitasi (ekonomi /
seksual), penelantaran, kekejamanan, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan
perilaku salah lainnya – Pasal 13 ayat1.
11) Memperoleh
perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam
sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, peristiwa yang mengandung unsur
kekerasan dan peperangan – Pasal 15.
12) Memperoleh
perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang
tidak manusiawi, juga memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum – Pasal 16 ayat
1 dan 2.
13) Penyandang
cacat : ia juga memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan yang memiliki
keuangan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus – Pasal 9 ayat 2. Selain itu
ia berhak memperoleh rehabilitasi bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan
sosial – Pasal 9 ayat 2 dan Pasal 12.
Perkecualian,
terhadap pemisahan anak untuk diasuh oleh orang tuanya, adalah jika ada alasan
dan / atau aturan hak yang sah demi kepentingan terbaik bagi anak, merupakan
pertimbangan terbaik bagi anak dan yang terakhir – Pasal 14
Upaya
terakhir (ultimum remedium) berupa penangkapan, penahanan atau pidana penjara
anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir – Pasal 16 ayat 3.
Setiap
anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : mendapatkan perlakuan secara
manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan
hukum atau lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang
berlaku; dan membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang
obyektif dan tidak memihak serta dalam sidang tertutup untuk umum – Pasal 17
ayat 1.
Berhak
dirahasiakan yaitu bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum – Pasal 17 ayat 2
Berhak
mendapatkan bantuan hukum dan lainnya bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pidana.
Dari
paparan hak anak di atas, bagaimana jika terjadi pelanggaran dan siapakah yang
harus mempertanggungjawabkannya. Mengenai hal demikian, ternyata undang-undang
tersebut tidak menentukannya secara lengkap. KUHP baik secara langsung maupun
tidak langsung telah mengaturnya, antara lain pada pasal 278, 283, 287, 290,
297, 301, 305, 308, 341, dan 356. Pemakalah berpendapat idealnya UU
Perlindungan Anak secara lengkap sanksi pidana bagi pelanggar hak-hak anak
tersebut dengan klasifikasinya sebagai kejahatan dan pelanggaran. Terkecuali UU
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah mengakomodasi hal sejenis.
Tindak
Pidana Anak, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Bab XII memuat ketentuan pidana
dan tersurat pada Pasal 77 s.d. 90,
dengan kualifikasi sebanyak 33 jenis Tindak Pidana Umum, yang semuanya
berdasarkan teori hukum pidana adalah kejahatan dengan pidana paling singkat 2
tahun, dan tidak ada yang berjenis pelanggaran meski pada Pasal 90 dikenal
adanya pidana denda namun sebagai pemberatan saja yaitu ditambah 1/3
(sepertiga) karena pelaku pidananya adalah korporasi.
Perlu
dicermati pula adanya 3 (tiga) frase
yang dapat diperdebatkan yaitu : “dan paling singkat 2 (dua) tahun dan denda
paling sedikit Rp 20.000.000,-“ - Pasal 89 ayat 2, mestinya frase redaksional
tersebut cukup “paling singkat atau paling sedikit menjadi paling singkat
penjara 2 tahun dan paling sedikit Rp 20.000.000,-. Kemudian frase dan atau
pada pasal 77, 78, 79, 80, 85, 86, 87, 88, 89, Jika pembuat undang-undang
menghendaki adanya kumulasi pidana penjara dan denda mestinya tanpa frase
“atau” dan jika konsisten seperti itu hakim dapat menggunakan frase “atau”
sehingga dapat menjadi pilihan dalam penerapan pidananya tanpa “dan” sehingga
berakibat dapat menjatuhkan pidana denda saja.
Frase
dipidana. Tren terakhir pembuat undang-undang banyak menggunakan frase dipidana
dan bukannya diancam pidana, tidak seperti pada sistem sanksi pidana pada KUHP
yang menggunakan frase “diancam pidana”. Timbul pertanyaan politik hukum apakah
yang melandasi pembuat undang-undang menggunakan frase dipidana tersebut,
bukankah kalau terdakwa terbukti bersalah akan dijatuhi pidana atau dipidana,
sehingga logikanya produk legislasi (persetujuan antara Pemerintah dan DPR),
karena tidak bertindak sebagai aparat yudikatif (hakim).
Berdasarkan
ketentuan pidana di atas tidak secara limitatif disebut adanya tindak pidana
anak, meski substansinya memuat perlindungan terhadap hak anak. Akan tetapi
kesemuanya merupakan tindak pidana biasa yang dapat dilakukan oleh orang
dewasa. Sedangkan apabila terjadi pelanggaran hak anak termasuk tindak pidana
umum berupa kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh anak maka
diklasifikasikan sebagai tindak pidana anak.
Oleh
karena itu pemakalah berpendapat tindak pidana anak adalah tindak pidana yang
dilakukan oleh anak, yang berumur 8 tahun tetapi belum berumur 18 tahun dan
belum kawin atau yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,
baik menurut peraturan perundang-undangan maupun peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan – Pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak.
Timbul
pertanyaan bagaimana implementasi terhadap adanya indikator yang berdimensi
pelanggaran hak anak dan adanya tindak pidana anak, hal ini akan mempengaruhi/
mendasari hakim dalam pertimbangannya untuk mengadili dan memutus perkara
tersebut.
Menurut
KUHAP Pasal 1 angka 9 mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk
menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana. Sedangkan menurut
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim wajib
menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara; melainkan hakim tidak
boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak ada. Oleh karena itu menurut
doktrin hakim dianggap tahu hukum (ius curia novit) dan putusan hakim dianggap benar res judicata
pro veritate habetur, dalam mengadili perkara pidana anak maka dasar
pertimbangan hukum adalah berpijak pada legal justice yang termuat dalam norma
hukum yang berlaku (hukum positif).
3.
Secara
Legal Justice
Ketentuan
normatif yuridis yang dimaksud antara lain :
Saat
menjalani proses hukum, penahanan dapat dilakukan terhadap anak sebagai
tersangka atu terdakwa. Penyidik berwenang menahan selama 20 hari dan dapat
diperpanjang 10 hari. Penuntut umum berwenang menahan selama 10 hari dan dapat
diperpanjang 15 hari. Hakim tingkat pertama berwenang menahan selama 15 hari
dan dapat diperpanjang 30 hari. Hakim Banding berwenang menahan selama 15 hari dan
dapat diperpanjang 30 hari.
Hakim
Kasasi berwenang menahan 25 hari dan dapat diperpanjang 30 hari. Dengan
demikian keseluruhan masa tahanan yan dijalani mencapai 200 hari. Dalam hal
pemeriksaan pada penyidikan dan penuntutan berhak didampingi penasehat hukum,
adapun dalam pemeriksaan dalam sidang pengadilan perkara anak nakal wajib hadir
dalam sidang tersebut yaitu Penutut Umum, Penasehat Hukum, Pembimbing
Kemasyarakatan, Orang tua, Wali, atau orang tua Asuh dan Saksi.- Pasal 55 UU
Pengadilan Anak.
Adapun
masing-masing aparat negara dan Penasehat Hukum tidak memakai pakaian dinas
atau toga. Dalam sidang pengadilan hakim anak bersidang sebagai hakim tunggal
yang dalam hal tertentu dan dipandang perlu dapat dilakukan dengan hakim
majelis, yang pemeriksaannya dilakukan dalam sidang tertutup untuk umum namun
putusannya diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Selain itu dalam sidang
hakim anak harus memperhatikan terlebih dahulu hasil penelitian kemasyarakatan
yang dibuat oleh Balai Pemasyarakatan disertai orang tua, wali atau orang tua
asuh, Penasehat Hukum – Pasal 56 dan 57 UU Pengadilan Anak.
Sebelum putusannya diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum hakim
memberikan kesempatan kepada orang tua, wali, orang tua asuh untuk mengemukakan
segala hal ihwal yang bermanfaat bagi anak – Pasal 59 UU Pengadilan Anak.
Hakim
dalam memutus perkara tindak pidana anak harus mencakup beberapa aspek
sebagaimana menurut Gustaf Rutbruch dengan teorinya “Ide des rechts”, yaitu:
keadilan (Gerechtigkeit), kemanfaatan (Zweekmossigkeit), kepastian hukum
(Rechts sicherheit). Ketiga unsur tersebut secara empiris hakim memperhatikan
sisi keadilan dan kemanfaatan bagi anak disamping itu juga kepastian hukum. Hal
ini dimaksudkan untuk memberikan efek jera bagi anak maupun pihak lain sehingga
bermanfaat pula bagi anak yang dipidana tersebut.
Dalam
penjatuhan pidana tersebut hakim berpijak pada Pasal 23 maupun Pasal 24 yaitu
berupa pidana pokok : Penjara, kurungan, denda atau pengawasan dan pidana
tambahan : perampasan barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
Khusus
pidana penjara dijatuhkan paling lama ½ dari maksimum ancaman pidana penjara
bagi orang dewasa. Sedangkan pidana mati atau seumur hidup maksimalnya 10
tahun. Apabila anak belum mencapai umur 12 tahun dapat diambil tindakan yang
dijatuhkan kepada anak nakal berupa :
1. Mengembalikan kepada orang tua, wali atau
orang tua asuh.
2. Menyerahkan
kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja atau;
3. Menyerahkan
kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak
di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
Dari
ketiga alternatif di atas dapat dijatuhkan apabila pelaku tindak pidana anak
tersebut belum mencapai umur 12 tahun jika tidak diancam pidana mati atau
seumur hidup – Pasal 26 UU Pengadilan Anak. Demikian pula terhadap pidana
kurungan dan pidana denda dapat dikenakan pada anak nakal yaitu ½ dari orang
dewasa. Apabila tidak membayar denda dapat diganti dengan wajib latihan kerja
paling lama 90 hari kerja dan tidak lebih dari 4 jam sehari serta bukan pada
malam hari – Pasal 28 UU Pengadian Anak.
Jika
hakim menjatuhkan pidana penjara bersyarat pada anak nakal maksimalnya 2 tahun
dengan ditentukan syarat umum dan khusus berupa anak nakal tidak melakukan
tindak pidana lagi dengan tetap memperhatikan kebebasan anak, yang jangka waktu pidana bersyarat tersebut
paling lama 3 tahun. Dalam hal ini jaksa melakukan pengawasan dan Pembimbing
Kemasyarakatan melakukan bimbingan oleh BAPAS dan berstatus Klien
Pemasyarakatan agar anak nakal menepati persyaratan yang ditentukan dan dapat
mengikuti pendidikan sekolah. – Pasal 29 UU Pengadilan Anak.
Jika
anak nakal diputus untuk diserahkan kepada negara, maka ditempatkan di Lembaga
Pemasyarakatan Anak sebagai anak negara maka demi kepentingan anak Kepala LPA
dapat minta ijin kepada Menteri Hukum dan HAM agar ditempatkan di Lembaga
Pendidikan Anak yang diselenggarakan Pemerintah atau Swasta. – Pasal 31 UU
Pengadilan Anak.
Namun
jika hakim memutuskan anak nakal wajib mengikuti pendidikan, pembinaan dan
latihan kerja maka hakim dalam putusannya sekaligus menentukan Lembaga mana yang
harus melaksanakannya. – Pasal 32 UU Pengadilan Anak.
Terhadap
putusan pengadilan mengenai perkara anak nakal yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dapat dimohonkan peninjauan kembali oleh anak dan atau orang tua,
wali, orang tua asuh, atau penasehat hukum kepada Mahkamah Agung sesuai dengan
ketentuan Undang-undang yang berlaku.
4. Secara Moral Justice
Hakim
mendasari pertimbangan dalam mengadili dan memutus perkara tindak pidana anak
selain memperhatikan hukum positif, dengan etika profesinya harus juga
memperhatikan faktor kriminologi, sosiologi dan psikologi. Menurut pendapat
Lawrance Friedman, orang yang tidak tunduk pada hukum bukan hanya karena ia
tidak mengetahui peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena faktor-faktor
yang mempengaruhi dirinya. Salah satu argumentasi adalah bahwa seseorang bisa
melanggar hukum karena lingkungan pergaulan mendorongnya untuk melakukan
kejahatan. Dalam kasus anak nakal, sering kali motif kejahatan yang dilakukan
lebih disebabkan oleh faktor di luar diri anak, seperti pengaruh lingkungan
pergaulan, keluarga, sekolah hingga tuntutan gaya hidup di lingkungan
pertemanan.
Dari
sisi sosiologis perkembangan anak, dasar yang melatarbelakangi seorang anak
untuk melakukan tindak pidana atau kejahatan, perlu dipertimbangkan kedudukan
anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas. Walaupun anak telah melakukan
sendiri langkah perbuatan berdasarkan pikiran, perasaan dan kehendaknya, tetapi
keadaan sekitar dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena itu anak nakal,
orang tua dan masyarakat sekitarnya seharusnya dapat lebih bertanggungjawab
terhadap pembinaan pendidikan dan pengembangan perilakunya.
Sedangkan
dari aspek psikologis, anak bisa dikategorikan sebagai manusia yang belum
cakap, dalam artian dalam memutuskan untuk meakukan perbuatan, pikiran,
kejiwaan dan alam sadarnya lebih didorong oleh faktor emosionalnya, bukan
logika berfikirnya yang sempurna selayaknya orang dewasa. Tindakan seorang anak
tidak mungkin dilakukan karena hanya didorong oleh pertimbangan individual
saja. Tindakan anak tidak berdiri sendiri tetapi terangkai dalam suatu
rangkaian sistem peranan yang diharapkan (role expectation), seperti teman
sepergaulan, sekolah bahkan dalam lingkungan keluarga. Oleh karena itu anak
nakal cenderung berasal dari keluarga yang tidak harmonis dan keluarga
terlantar dimana sang anak mencontoh perbuatan dari orang-orang terdekatnya
yaitu keluarga.
5. Secara Social Justice
Hakim
tidak hidup di singgasana melainkan hidup bersosialisasi dengan masyarakat
lingkungannya yang bersifat heterogen, menurut Undang-undang Kekuasaan
Kehakiman hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dengan demikian hakim dalam menegakan hukum positif (law in book) dapat
mewujudkan keadilan sosial (law in action), sehingga putusan hakim in casu
dalam perkara tindak pidana anak berdimensi memberikan keadilan yang bermanfaat
demi kepentingan anak tersebut juga kepada lingkungan sosialnya termasuk orang
tua, wali atau orang tua asuhnya serta masyarakat sekitarnya. Putusan yang demikian
itu tentunya akan dapat mempengaruhi tumbuh kembang dalam hidup dan kehidupan
demi masa depan perkembangan kecerdasan intelektual sosial maupun emosionalnya
yang berguna bagi perbaikan anak pidana serta generasi penerus lainnya untuk
kejayaan bangsa dan negara. Dengan kata lain dengan putusan tersebut
terjaminlah perlindungan hak anak tanpa menegasikan kepastian hukum sehingga
supremasi hukum tetap ditegakkan terhadap anak sejak usia dini sehingga ia
bermanfaat bagi pelanjut sejarah perjuangan bangsanya meraih tujuan bernegara,
yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia karena anak hakekatnya
adalah pewaris dan pelanjut cita-cita bangsanya.
6. Penutup.
Dasar
pertimbangan hukum hakim dalam mengadili dan memutus perkara anak pelanggaran
hak anak dan tindak pidana anak antara lain :
Pelaksanaan
pidana terhadap anak nakal harus mengandung unsur reedukasi, reharmonisasi dan
resosialisasi dengan membedakan antara pidana untuk pelaku kejahatan dengan
pelaku pelanggaran.
Penegakan
hukum pidana pada anak tidak dapat dipisahkan dari penyelesaian permasalahan
dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat lingkungan kehidupan sosial
anak.
Terhadap
anak nakal pelaku tindak pidana pertama kali ideal, dan adilnya diberikan
kesempatan untuk mengubah atau memperbaiki perilakunya tanpa harus dijatuhi
pidana penjara. Namun jika kondusif bagi kepentingan masa depan anak cukup
diberikan tindakan-tindakan berupa pengembalian kepada orang tua kepada negara
maupun kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan dengan
disertai syarat tambahan yang ditetapan oleh hakim.
Agar
diperhatikan laporan penelitian kemasyarakatan yang memuat kondisi lingkungan
keluarga dan masyarakat sekitarnya sehingga ptusan hakim dapat menumbuh
kembangkan kecerdasan intelektual emosi dan sosialnya dikemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Undang-undang
Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention Number 138 Concerning
Minimum Age for Admission to Employment (Konversi ILO mengenai Usia Minimum
untuk Diperbolehkan Bekerja)
Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
No comments:
Post a Comment