Soal
:
Hitunglah Pajak penghasilan yang
terutang oleh A dalam tahun 2010, diketahui:
1.
A memperoleh Penghasilan (Ph) bruto dari
jasa sebagai notaris dan atau PPAT sebesar 100 juta.
2.
A sudah berstatus kawin dengan
tanggungan keluarga 1 istri & 2 anak kandung serta 1 adik kandung
3.
Perhitungan penghasilan neto didasarkan
kepada norma penghitungan untuk jasa notaris dan atau PPAT ditetapkan oleh
dirjenpajak sebesar 60%
Bandingkan ketentuan di atas dengan PP
No. 46 tahun 2013 yang menetapkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) 1% bagi
kegiatan usaha yang mempunyai peredaran bruto RP 0 sampai dengan 4,8 milyar (
dasar dari penetapan PP no. 46 tahun 2013 merujuk pada Pasal 4 ayat 2 &
penjelasannya UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh)
Mahasiswa baca.
Bandingkan dengan ketentuan Pasal 1,
Pasal 6 ayat 1 sampai dengan ayat 3 jo Pasal 17 ayat 1 huruf b, Pasal 7 ayat 1
jo pasal 17 ayat 1 & Pasal 14 UU No. 36 Tahun 2008 seperti tersebut di atas
dan Pasal 28 ketentuan umum perpajakan (KUP).
Pembahasan
:
Tabel PTKP sejak 1 Januari 2013
|
||
Peruntukan
|
Status
|
Nilai PTKP
|
WP Orang Pribadi
|
TK/0
|
24.300.000
|
WP Orang Pribadi + 1 Tanggungan
|
TK/1
|
26.235.000
|
WP Orang Pribadi + 2 Tanggungan
|
TK/2
|
28.350.000
|
WP Orang Pribadi + 3 Tanggungan
|
TK/3
|
30.375.000
|
WP Kawin
|
K/0
|
26.325.000
|
WP Kawin + 1 Tanggungan
|
K/1
|
28.350.000
|
WP Kawin + 2 Tanggungan
|
K/2
|
30.375.000
|
WP Kawin + 3 Tanggungan
|
K/3
|
32.400.000
|
WP Kawin + Penghasilan Istri Digabung
|
K/I/0
|
48.600.000
|
Sehubungan dengan diterbitkannya
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 162/PMK.011/2012 tentang
Penyesuaian Besarnya Penghasilan Kena Pajak, maka acuan besarnya Pajak Penghasilan
Tidak Kena Pajak Orang Pribadi Tahun 2013
Jika dirinci maka untuk besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP):
a. Rp. 24.300.000,- untuk Wajib pajak Orang Pribadi,
b. Rp. 2.025.000,- tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin,
c. Rp. 24.300.000,- tambahan untuk seorang istri yg penghasilannya digabung dengan penghasilan suami,
d. Rp. 2.025.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga.
Sehubungan dengan kenaikan PTKP (PMK No. 162/PMK.011/2012) yang berlaku sejak 1 Januari 2013:
“Besarnya penghasilan tidak kena pajak disesuaikan menjadi sebagai berikut:
a) Rp24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b) Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c)Rp24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
d) Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.”
Jika dirinci maka untuk besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP):
a. Rp. 24.300.000,- untuk Wajib pajak Orang Pribadi,
b. Rp. 2.025.000,- tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin,
c. Rp. 24.300.000,- tambahan untuk seorang istri yg penghasilannya digabung dengan penghasilan suami,
d. Rp. 2.025.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga.
Sehubungan dengan kenaikan PTKP (PMK No. 162/PMK.011/2012) yang berlaku sejak 1 Januari 2013:
“Besarnya penghasilan tidak kena pajak disesuaikan menjadi sebagai berikut:
a) Rp24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b) Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c)Rp24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
d) Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.”
1.
Pasal 14 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008
berbunyi:
“Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk
menentukan penghasilan neto, dibuat dan disempurnakan terus menerus serta
diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. “
Ph Neto diperoleh berdasarkan norma
penghitungan yang ditetapkan oleh dirjen pajak:
Ph x 60%
Rp
100.000.000 x 60% = Rp 60.000.000
Maka, PTKPnya = Rp 30.375.000 + Rp
2.025.000
= Rp 32.400.000
PKP = Ph Neto – PTKP
= Rp 60.000.000 – Rp 32.400.000
= Rp 27.600.000
Sesuai dengan Pasal 17 ayat 1,
Undang-Undang No. 36 tahun 2008 (Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan), maka
tarif (potongan) pajak penghasilan pribadi adalah sebagai berikut.
Lapisan Penghasilan
Kena Pajak (Rp)
|
Tarif Pajak
|
Sampai dengan 50 juta
|
5%
|
Di atas 50 juta sd 250
juta
|
15%
|
Di atas 250 juta sd
500 juta
|
25%
|
Di atas 500 juta
|
30%
|
Jadi,
Pph terutang = PKP x 5% = Rp 27.600.000 x 5%
= Rp 1.380.0000
A. Pph menurut PP Nomor 46 Tahun 2013
Pasal 4 ayat (2), bunyinya:
“Pajak Penghasilan terutang dihitung
berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikalikan dengan
dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). “
Pasal 3 ayat (1), bunyinya :
“ Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang
bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah 1% (satu persen). “
Jadi, Pph nya = Rp 100.000.000 x 1%
= Rp 1.000.000
Perbandingan
antara UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan dengan PP Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu:
Penghasilan dengan PP Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu:
Perbandingan Pasal 1
Pajak penghasilan yang dikenakan kepada subjek pajak atau wajib pajak atas apa yang diperolehnya dalam tahun pajak, yaitu 1 tahun kalender atau tahun buku yang terdiri dari 12 bulan. Penghasilan yang dimaksud adalah setiap tambahan kemampuan ekonomi yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk tambahan kekayaan dengan nama dan bentuk-bentuk yang diatur dalam pasal 4 Undang-undang nomor 36 tahun 2008. jadi, yang dimaksud dengan penghasilan menurut Undang-undang nomor 36 tahun 2008 tersebut adalah merupakan suatu tambahan ekonomis atau keuntungan.
Akan tetapi PP nomor 46 tahun 2013 memberikan
penjelasan yang berbeda, dimana penghasilan tersebut diartikan sebagai
peredaran bruto atau pemasukan bagi wajib pajak, tetapi tidak dijelaskan secara rinci mengenai
definisi atau yang berkaitan dengan penghasilan itu, apakah subyek pajak tersebut
masih akan tetap dibebankan pajak apabila peredaran brutonya tidak cukup
memberikan tambahan ekonomis atau tidak. Maka dari itu antara keduanya masih
terdapat pengertian yang multi tafsir dalam PP nomor 46 tahun 2013.
Perbandingan Pasal 6
Dalam
UU Nomor 36 Tahun 2008, besarnya PKP bagi Wajib pajak ditentukan berdasarkan
penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan. Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud
didapat kerugian,kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai
tahun pajak berikutnya berturut turut sampai dengan 5 tahun. Kepada orang
pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa
Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Dalam
PP Nomor 46 Tahun 2013 tidak mengatur mengenai Penghasilan Kena Pajak, sehingga
pengenaan pajak langsung dari peredaran bruto wajib pajak, baik yang
bersangkutan mengalami kerugian maupun keuntungan terhitung dar i peredaran
bruto.
Perbandingan Pasal 7
Pasal 7 Undang-undang nomor 36 tahun tahun 2008
memberikan ketentuan penghasilan yang tidak kena pajak dengan beberapa kriteria
yang terdiri dari :
a.
Wajib pajak orang pribadi
b.
Wajib pajak yang sudah kawin
c.
Wajib pajak tambahan untuk istri dan pajak
untuk anak.
Akan
tetapi dalam pasal 3 (4) PP nomor 46 tahun 2013 meberikan ketentuan yang
berbeda, pasal terebut menyatakan bahwa peredaran bruto yang melebihi Rp.4,8 M
mengacu kepada Undang-undang nomor 36 tahun 2008. PP nomor 46 tahun 2013 ini tidak mengatur ketentuan
peredaran bruto tidak kena pajak, sehingga wajib pajak yang memiliki peredaran
bruto kurang dari Rp. 4,8 M dikenakan pajak final sebesar 1 %. Akan tetapi
Undang-undang nomor 36 tahun 2008 tidak mengatur ketentuan mengenai pajak
terhadap peredaran bruto yang melebihi dari Rp. 4,8 M.
Perbandingan Pasal 14
Dalam
Pasal 14 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2008 diatur mengenai
pengenaan pajak terhadap wajib pajak yang peredaran brutonya kurang dari Rp 4.800.000.000,00 dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto.
Dengan demikian, pengenaan pajak tetap dihitung berdasarkan penghasilan atau tambahan kemampuan ekonomis atau keuntungan dari peredaran bruto wajib pajak yang bersangkutan.
pengenaan pajak terhadap wajib pajak yang peredaran brutonya kurang dari Rp 4.800.000.000,00 dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto.
Dengan demikian, pengenaan pajak tetap dihitung berdasarkan penghasilan atau tambahan kemampuan ekonomis atau keuntungan dari peredaran bruto wajib pajak yang bersangkutan.
Namun
PP Nomor 46 Tahun 2013 tidak mengatur mengenai
perhitungan dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto,
sehingga pengenaan pajak langsung dari peredaran bruto wajib pajak, baik yang
bersangkutan mengalami kerugian maupun keuntungan terhitung dari peredaran
bruto.
Perbandingan Pasal 17
Dalam
pasal 17 Undang-undang nomor 36 tahun 2008 mengatur penghasilan kena pajak
dengan beberapa prosentase tariff pajak.
Apa bila dibandingkan dengan Pasal 3 ayat 1 PP 46 tahun 2013 yang hanya mengenakan pajak
sebesar 1% dari peredaran brutto yang nominal penghasilannya kurang dari Rp 4,8
Miliar, maka ketentuan yang terdapat dalam PP 46 tahun 2013 itu berarti tidak
memberikan kepastian terhadap wajip pajak, dan bila diartikan demikian, berarti
wajib pajak yang memiliki penghasilan neto besar dari peredaran brutto kurang
dari 4,8 Miliar, maka wajib pajak tersebut mendapatkan potongan pajak yang
lebih rendah berdasarkan PP 46 tahun 2013, karena tidak dipotong berdasarkan
lapisan tarif penghasilan. Akan tetapi, wajib pajak yang memiliki penghasilan
netonya lebih rendah atau peredaran bruttonya kurang dari RP 4,8 Miliar, akan
sangat dirugikan, karena wajib pajak harus tetap membayar pajak sebesar 1% dari penghasilannya
Kesimpulan
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan yang memiliki omzet kurang dari 4,8 miliar dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1 % dari omzet. Wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan yang memiliki omzet kurang dari 4,8 miliar namun tidak dapat menerapkan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah:
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan yang memiliki omzet kurang dari 4,8 miliar dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1 % dari omzet. Wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan yang memiliki omzet kurang dari 4,8 miliar namun tidak dapat menerapkan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah:
Wajib
pajak pribadi, yang :
1. Menerima penghasilan dari usaha yang penghasilannya berasal dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.
2. Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang (baik
menetap atau tidak menetap) .
3. Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
Wajib
pajak badan, yang :
1. Menerima penghasilan dari
usaha yang penghasilannya berasal dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas
2. Belum beroperasi secara komersial
3. Dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh omzet melebihi Rp. 4.800.000.000,00
sehubungan dengan pekerjaan bebas
2. Belum beroperasi secara komersial
3. Dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh omzet melebihi Rp. 4.800.000.000,00
Selain
itu, PP Nomor 46 Tahun 2013 ini tidak berlaku apabila wajib pajak pribadi
atau wajib pajak badan yang menerima penghasilan yang telah dikenakan
PPh yang bersifat final berdasarkan peraturan perpajakan yang sebelumnya. Secara
normatif UU Nomor 36 Tahun 2008 bertentangan dengan PP Nomor 46 Tahun
2013. Hal ini dilihat dari perbedaan makna penghasilan antara kedua peraturan
perundang-undangan tersebut. Dari perbedaan ini, perbedaan pengaturan
pengenaan pajak dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 turut meluas dan menimbulkan
dampak yang cenderung merugikan, khususnya bagi wajib pajak yang
berpenghasilan neto kecil atau yang mengalami kerugian.
Menurut TEORI STUFEN BAU Teori ini diperkenalkan oleh HANS KALSEN yang berarti : suatu teori
sistem hukum yang dilihat secara hinarkis atau anak tangga yang berjenjang,
dimana norma hukum yang lebih rendah harus berpegangan pada norma hukum yang
lebih tinggi, dan norma hukum yang lebih tinggi harus berdasarkan kepada norma
hukum tertinggi, dan norma hukum tertinggi harus mendasar kepada norma hukum
yang paling dasar atau “grounorm”.
Berhubungan dengan teori ini, PP nomor 46 tahun 2013 secara normatif telah
diberikan kewenangan oleh pasal 4 ayat 2 Undang-undang nomor 36 tahun 2008.
Akan tetapi, perbedaan makna penghasilan antara Undang-undang nomor 36 tahun
2008 dengan PP nomor 46 tahun 2013 membuat norma hukum yang lebih rendah dan
bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi. Makna penghasilan menurut
norma yang lebih tinggi yaitu Undang-undang nomor 36 tahun 2008 adalah suatu
nilai tambahan ekonomis, dimana peredaraan bruto tidak masuk sebagai definisi
penghasilan. Pada norma yang lebih rendah tersebut PP nomor 46 tahun 2013
mencantumkan perdaran bruto sebagai penghasilan, dimana hal ini bertentangan
dengan norma hukum yang lebih tinggi. Peredaran bruto belum tentu berupa
tambahan ekonomis bisa saja berupa kerugian yang tidak dibedakan menurut PP
nomor 46 tahun 2013.
No comments:
Post a Comment