Tuesday 3 March 2015

HUKUM PAJAK

Soal :
Hitunglah Pajak penghasilan yang terutang oleh A dalam tahun 2010, diketahui:
1.     A memperoleh Penghasilan (Ph) bruto dari jasa sebagai notaris dan atau PPAT sebesar 100 juta.
2.     A sudah berstatus kawin dengan tanggungan keluarga 1 istri & 2 anak kandung serta 1 adik kandung
3.     Perhitungan penghasilan neto didasarkan kepada norma penghitungan untuk jasa notaris dan atau PPAT ditetapkan oleh dirjenpajak sebesar 60%
Bandingkan ketentuan di atas dengan PP No. 46 tahun 2013 yang menetapkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) 1% bagi kegiatan usaha yang mempunyai peredaran bruto RP 0 sampai dengan 4,8 milyar ( dasar dari penetapan PP no. 46 tahun 2013 merujuk pada Pasal 4 ayat 2 & penjelasannya UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh)
Mahasiswa baca.
Bandingkan dengan ketentuan Pasal 1, Pasal 6 ayat 1 sampai dengan ayat 3 jo Pasal 17 ayat 1 huruf b, Pasal 7 ayat 1 jo pasal 17 ayat 1 & Pasal 14 UU No. 36 Tahun 2008 seperti tersebut di atas dan Pasal 28 ketentuan umum perpajakan (KUP).









Pembahasan :

Tabel PTKP sejak 1 Januari 2013
Peruntukan
Status
Nilai PTKP
WP Orang Pribadi
TK/0
24.300.000
WP Orang Pribadi + 1 Tanggungan
TK/1
26.235.000
WP Orang Pribadi + 2 Tanggungan
TK/2
28.350.000
WP Orang Pribadi + 3 Tanggungan
TK/3
30.375.000
WP Kawin
K/0
26.325.000
WP Kawin + 1 Tanggungan
K/1
28.350.000
WP Kawin + 2 Tanggungan
K/2
30.375.000
WP Kawin + 3 Tanggungan
K/3
32.400.000
WP Kawin + Penghasilan Istri Digabung
K/I/0
48.600.000
Sehubungan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Kena Pajak, maka acuan besarnya Pajak Penghasilan Tidak Kena Pajak Orang Pribadi Tahun 2013 
Jika dirinci maka untuk besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP):
a. Rp. 24.300.000,- untuk Wajib pajak Orang Pribadi,
b. Rp. 2.025.000,- tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin,
c. Rp. 24.300.000,- tambahan untuk seorang istri yg penghasilannya digabung dengan penghasilan suami,
d. Rp. 2.025.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga.

Sehubungan dengan kenaikan PTKP (PMK No. 162/PMK.011/2012) yang berlaku sejak 1 Januari 2013:
“Besarnya penghasilan tidak kena pajak disesuaikan menjadi sebagai berikut:
a) Rp24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b) Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c)Rp24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
d) Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.”

1.    Pasal 14 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 berbunyi:
“Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto, dibuat dan disempurnakan terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. “

Ph Neto diperoleh berdasarkan norma penghitungan yang ditetapkan oleh dirjen pajak:
Ph x 60%
 Rp 100.000.000 x 60% = Rp 60.000.000
Maka, PTKPnya = Rp 30.375.000 + Rp 2.025.000
                           = Rp 32.400.000
PKP = Ph Neto – PTKP
      = Rp 60.000.000 – Rp 32.400.000
      = Rp 27.600.000

Sesuai dengan Pasal 17 ayat 1, Undang-Undang No. 36 tahun 2008 (Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan), maka tarif (potongan) pajak penghasilan pribadi adalah sebagai berikut.

Lapisan Penghasilan Kena Pajak (Rp)
Tarif Pajak
Sampai dengan 50 juta
5%
Di atas 50 juta sd 250 juta
15%
Di atas 250 juta sd 500 juta
25%
Di atas 500 juta
30%

Jadi, Pph terutang = PKP x 5% = Rp 27.600.000 x 5%
                                                           = Rp 1.380.0000


A.    Pph menurut PP Nomor 46 Tahun 2013
Pasal 4 ayat (2), bunyinya:
“Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). “
Pasal 3 ayat (1), bunyinya :
“ Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah 1% (satu persen). “
Jadi, Pph nya = Rp 100.000.000 x 1%
                      = Rp 1.000.000

Perbandingan antara UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak 
Penghasilan dengan PP Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki  peredaran bruto tertentu:

Perbandingan Pasal 1

Pajak penghasilan yang dikenakan kepada subjek pajak atau wajib pajak atas apa yang diperolehnya dalam tahun pajak, yaitu 1 tahun kalender atau tahun buku yang terdiri dari 12 bulan. Penghasilan yang dimaksud adalah setiap tambahan kemampuan ekonomi yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk tambahan kekayaan dengan nama dan bentuk-bentuk yang diatur dalam pasal 4 Undang-undang nomor 36 tahun 2008. jadi, yang dimaksud dengan penghasilan menurut Undang-undang nomor 36 tahun 2008 tersebut adalah merupakan suatu tambahan ekonomis atau keuntungan.
Akan tetapi PP nomor 46 tahun 2013 memberikan penjelasan yang berbeda, dimana penghasilan tersebut diartikan sebagai peredaran bruto atau pemasukan bagi wajib pajak, tetapi  tidak dijelaskan secara rinci mengenai definisi atau yang berkaitan dengan penghasilan itu, apakah subyek pajak tersebut masih akan tetap dibebankan pajak apabila peredaran brutonya tidak cukup memberikan tambahan ekonomis atau tidak. Maka dari itu antara keduanya masih terdapat pengertian yang multi tafsir dalam PP nomor 46 tahun 2013.

Perbandingan Pasal 6

Dalam UU Nomor 36 Tahun 2008, besarnya PKP bagi Wajib pajak ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud didapat kerugian,kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut turut sampai dengan 5 tahun. Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 tidak mengatur mengenai Penghasilan Kena Pajak, sehingga pengenaan pajak langsung dari peredaran bruto wajib pajak, baik yang bersangkutan mengalami kerugian maupun keuntungan terhitung dar i peredaran bruto.

Perbandingan Pasal 7 

Pasal 7 Undang-undang nomor 36 tahun tahun 2008 memberikan ketentuan penghasilan yang tidak kena pajak dengan beberapa kriteria yang terdiri dari :
a.       Wajib pajak orang pribadi
b.      Wajib pajak yang sudah kawin
c.       Wajib pajak tambahan untuk istri dan pajak untuk anak.
Akan tetapi dalam pasal 3 (4) PP nomor 46 tahun 2013 meberikan ketentuan yang berbeda, pasal terebut menyatakan bahwa peredaran bruto yang melebihi Rp.4,8 M mengacu kepada Undang-undang nomor 36 tahun 2008. PP nomor  46 tahun 2013 ini tidak mengatur ketentuan peredaran bruto tidak kena pajak, sehingga wajib pajak yang memiliki peredaran bruto kurang dari Rp. 4,8 M dikenakan pajak final sebesar 1 %. Akan tetapi Undang-undang nomor 36 tahun 2008 tidak mengatur ketentuan mengenai pajak terhadap peredaran bruto yang melebihi dari Rp. 4,8 M.


Perbandingan  Pasal 14 

Dalam Pasal 14 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2008 diatur mengenai 
pengenaan pajak terhadap wajib pajak yang peredaran brutonya kurang dari Rp 4.800.000.000,00 dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto. 
Dengan demikian, pengenaan pajak tetap dihitung berdasarkan penghasilan atau tambahan kemampuan ekonomis atau keuntungan dari peredaran bruto wajib pajak yang bersangkutan.
Namun PP Nomor 46 Tahun 2013 tidak mengatur mengenai perhitungan dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, sehingga pengenaan pajak langsung dari peredaran bruto wajib pajak, baik yang bersangkutan mengalami kerugian maupun keuntungan terhitung dari peredaran bruto.

Perbandingan Pasal 17
Dalam pasal 17 Undang-undang nomor 36 tahun 2008 mengatur penghasilan kena pajak dengan beberapa prosentase tariff pajak.  Apa bila dibandingkan dengan Pasal 3 ayat 1  PP 46 tahun 2013 yang hanya mengenakan pajak sebesar 1% dari peredaran brutto yang nominal penghasilannya kurang dari Rp 4,8 Miliar, maka ketentuan yang terdapat dalam PP 46 tahun 2013 itu berarti tidak memberikan kepastian terhadap wajip pajak, dan bila diartikan demikian, berarti wajib pajak yang memiliki penghasilan neto besar dari peredaran brutto kurang dari 4,8 Miliar, maka wajib pajak tersebut mendapatkan potongan pajak yang lebih rendah berdasarkan PP 46 tahun 2013, karena tidak dipotong berdasarkan lapisan tarif penghasilan. Akan tetapi, wajib pajak yang memiliki penghasilan netonya lebih rendah atau peredaran bruttonya kurang dari RP 4,8 Miliar, akan sangat dirugikan, karena wajib pajak harus tetap  membayar pajak sebesar 1% dari penghasilannya 

Kesimpulan 
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan yang memiliki omzet kurang dari 4,8 miliar dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1 % dari omzet. Wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan yang memiliki omzet kurang dari  4,8 miliar namun tidak dapat menerapkan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah: 
Wajib pajak pribadi, yang : 

1.  Menerima penghasilan dari usaha yang penghasilannya berasal dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.
2. Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang (baik 
menetap atau tidak menetap) .
3. Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan. 

Wajib pajak badan, yang : 
1. Menerima penghasilan dari usaha yang penghasilannya berasal dari jasa 
sehubungan dengan pekerjaan bebas 
2. Belum beroperasi secara komersial 
3. Dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh omzet melebihi Rp. 4.800.000.000,00 

Selain itu, PP Nomor 46 Tahun 2013 ini tidak berlaku apabila wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan yang menerima penghasilan yang telah dikenakan PPh yang bersifat final berdasarkan peraturan perpajakan yang sebelumnya. Secara normatif UU Nomor 36 Tahun 2008 bertentangan dengan PP Nomor 46 Tahun 2013. Hal ini dilihat dari perbedaan makna penghasilan antara kedua peraturan perundang-undangan tersebut. Dari perbedaan ini, perbedaan pengaturan pengenaan pajak dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 turut meluas dan menimbulkan dampak yang cenderung merugikan, khususnya bagi wajib pajak yang berpenghasilan neto kecil atau yang mengalami kerugian.
Menurut TEORI STUFEN BAU  Teori ini diperkenalkan oleh HANS KALSEN yang berarti : suatu teori sistem hukum yang dilihat secara hinarkis atau anak tangga yang berjenjang, dimana norma hukum yang lebih rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan norma hukum yang lebih tinggi harus berdasarkan kepada norma hukum tertinggi, dan norma hukum tertinggi harus mendasar kepada norma hukum yang paling dasar  atau “grounorm”. Berhubungan dengan teori ini, PP nomor 46 tahun 2013 secara normatif telah diberikan kewenangan oleh pasal 4 ayat 2 Undang-undang nomor 36 tahun 2008. Akan tetapi, perbedaan makna penghasilan antara Undang-undang nomor 36 tahun 2008 dengan PP nomor 46 tahun 2013 membuat norma hukum yang lebih rendah dan bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi. Makna penghasilan menurut norma yang lebih tinggi yaitu Undang-undang nomor 36 tahun 2008 adalah suatu nilai tambahan ekonomis, dimana peredaraan bruto tidak masuk sebagai definisi penghasilan. Pada norma yang lebih rendah tersebut PP nomor 46 tahun 2013 mencantumkan perdaran bruto sebagai penghasilan, dimana hal ini bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi. Peredaran bruto belum tentu berupa tambahan ekonomis bisa saja berupa kerugian yang tidak dibedakan menurut PP nomor 46 tahun 2013.











No comments:

Post a Comment