Tuesday 3 March 2015

HUKUM AGRARIA


BAB 1
PENDAHULUAN


1.      Latar Belakang Masalah


Tanah merupakan kebutuhan dasar yang sangat penting bagi setiap individu, baik sebagai tempat tinggal ataupun untuk melakukan berbagai kegiatan lainnya. Dengan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dan kebutuhan akan tanah juga semakin besar, sementara keberadaan tanah relatif tetap dan cenderung berkurang, sehingga untuk memenuhi kebutuhan akan tanah maka dapat menimbulkan permasalah di dalam masyarakat.
            Usaha untuk mencapai masyarakat adil dan makmur memang memerlukan ikut sertanya semua manusia dalam semua bidang kehidupan seperti ekonomi, politik, hukum dan sosial budaya. Salah satu cara agar bisa terwujud kesejahteraan bagi seluruh rakyat indonesia ialah dengan cara mempergunakan hukum sebagai alatnya. Dengan kata lain hukum hukum dipakai sebagai sarana untuk menciptakan keadilan dan kemakmuran khususnya dibidang agraria.[1]
Di dalam usaha untuk mewujudkan tujuan tersebut, hukum agraria nasional memberikan kedudukan yang penting pada hukum adat. Hukum adat dijadikan dasar dan sumber dari pembentukan hukum agraria nasional. Pengambilan hukum adat sebagai dasar merupakan pilihan yang paling tepat karena hukum adat merupakan hukum yang sudah dilaksanakan dan dihayati oleh sebagian besar masyarakat indonesia. Pengambilan hukum adat sebagai sumber memang mengandung kelemahan-kelemahan tertentu. Hal ini berkaitan dengan sifat pluralistis hukum adat itu sendiri. Untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan itu harus dicari dan dirumuskan asas-asas, konsepsi-konsepsi, lembaga-lembaga dan sistem hukunya. Hal inilah dijadikan sebagai dasar dan sumber bagi pembentukan hukum agraria nasional.
Pembahasan mengenai struktur hukum tanah nasional tidak dapat dilepaskan dari fakta sejarah tentang perkembangan hukum agraria di Indonesia pernah mengalami jaman penjajahan yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi perkembangan hukumnya. Secara garis besar sejarah hukum agraria dikelompokkan menjadi dua yaitu pada jaman sebelum berlakunya Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan setelah berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok.[2]
            Di dalam hukum tanah kita membahas yang berkenaan dengan hak – hak suatu suku seperti hak hak ulayat .
Hak Ulayat persekutuan hukum diakui dengan tegas di dalam UUPA UU No. 5 tahun1960. Dalam pasal 3 dinyatakan:  “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan (hukum) lain yang lebih tinggi”.[3]
Tentang pelaksanaan Hak Ulayat itu dijelaskan dalam pasal 5 UUPA sebagai berikut: Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya segala sesuatu dengan mengindahkan unsure-unsur yang  berdasarkan hukum agama.
Ini berarti berdasarkan hak ulayat yang bersumberkan hukum adat ini, masyarakat hukum yang bersangkutan tidak boleh menghalangi pemberian hak guna usaha yang hendak dilakukan oleh pemerintah.
Jika pemerintah misalnya hendak melaksanakan pembukaan hutan secara besar-besaran dan teratur dalam rangka proyek-proyek besar untuk penambahan bahan makanan dan transmigrasi, maka hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tidak boleh dijadikan penghalang. Jika hak ulayat dari masyarakat hukum adat itu dapat menghambat dan menghalangi sesuatu, maka kepentingan umum akan dikalahkan oleh kepentingan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Ini tidak dapat dibenarkan, dengan kata lain kepentingan suatu masyarakat hukum adat harus tunduk terhadap kepentingan nasional dan Negara.

2.       Rumusan Masalah

Yang menjadi rumusan makalah saya ini adalah Bagaimana Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Adat Terhadap Hukum Tanah Nasional?

BAB II
PANDANGAN POLITIK DAN HUBUNGAN DENGAN PRODUK HUKUM AGRARIA


Mengenai pengertian dari politik hukum sudah banyak dikemukakan oleh para ahli hukum, seperti Moh Mahfud MD yang mengemukakan bahwa politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan di berlakukan dengan pembuatan hukum baru maupun menggantikan hukum lama guna untuk mencapai tujuan negara”[4]
            Soedarto mengemkakan bahwa politik hukum adalah kebijakan negara melalui badan badan Negara yang berwenang untuk menetapkan suatu peraturan perundang-undangan yang dikehendaki yang diperkirakan akan dipergunakan untuk mengekpresikan suatu hal yang terkandung di dalam masyarkat dan untuk mencapai cita-citanya.
Dari pengertian tentang Politik Hukum diatas bisa disimpulkan bahwa Politik Hukum yaitu suatu kebijakan dari Aparatur Negara tentang hukum yang di berlakukan atau tidak untuk mencapai tujuan Negara.
Sunaryati  hartono memngemukakan hukum sebagai alat sehingga secara praktis politik hukum juga merupakan alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai cita – cita bangsa dan tujuan negara.[5]
Dengan demikian, politik hukum mencangkup, sekurang kurangnya tiga hal: pertama, kebijakan negara tentang hukum yang diberlakuakan atau tidak diberlakukan dalam rangka mencapai tujuan negara, kedua : latar belakang politik, ekonomi  sosial, budaya atas lahirnya produk hukum. Ketiga, penegakan hukum di dalam kenyatann ada lapangan.[6]

Hukum Sebagai Produk Politik
           
Jika didengar secara sekilas pernyataan ‘’ Hukum Sebagai Produk Politik’’ dalam pandangan awam bisa dipersoalkan sebab pernyataan tersebut meposisikan hukum subsistem kemasyarakatan yang ditentukan oleh politik. Jika didasarkan pada das sein dengan mengkonsepkan hukum sebagai undang undang. Dalam fakatanya jika  hukum dikonsepkan sebagai undang undang yang dibuat oleh lembaga legislatif maka tak seorang pun dapat membantah  bahwa hukum adalah produk politik sebab ia merupakan kristalisasi, formalisasi, atau legislasi dari kehendak politik yang saling bersaing baik melalui kompromi politik maupun melaluidominasi oleh kekuatan politik yang terbesar.[7]
Konfigurasi politik yang ditampilkan oleh kekuasaan orde baru kemudian paralel dengan produk hukum yang dihasilkannya yaitu karakter hukum yang konservatif/ortodoks/elitis Khusus mengenai agraria hampir tidak ada perubahan yang signifikan dalam periode ini disbandingkan dengan periode sebelumnya. UUPA yang sudah ada sejak masa demokrasi terpimpin tetap diberlakukan dan tidak diganti. Sehingga praktis dalam bidang keagrariaan walaupun watak politik orde baru adalah otoriter namun pengaturannya demokratis.
            Masalah tanah mau pun hak – hak yang berubungan dengan tanah pada dasarnya harus berbicara mengenai agraria. Karena agraria mecangkup wilayah negara, agraria mewadahi semuanya.
Bahwa yang terjadi di indonesia pada dasarnya adalah bersifat agraris, namun jumlah pakarnya sangat sedikit. Dapat ditambahkan bahwa yang sedikit itu hampir semuanya ahli hukum. Padahal agraria mencangkup berbagai aspek seperti hukum, sosial, budaya, ekonomi, politik. Bahkan akarnya terletak di jantung Politik. Karena itu dapat dipahami bahwa sampai sekarang diantara masyarakat umum, para birokrat, para politikus, bahkan diantara para intelektual pun pemahamannya mengenai agraria masih bersifat parsial. Ini sangat berbeda dengan negara – negara berkembang yang lain (misalnya India, Mesir, Taiwan, philiphina, meksiko, atau negara – negara Amerika Latin).[8]
Namun itu semuanya bukan tanpa latar belakang sejarah. Ada beberapa hal faktor yang menyebabkannya, mari kita melihat politik dan produk hukum Agraria dari waktu ke waktu, secara garis besar dan terbatas sejak indonesia merdeka.

Masa awal kemerdekaan selama lima tahun itu dikenal dengan sebagai priode revolusi fisik yaitu masa masa perang dan damai silih berganti. Dengan demikian  pikiran utama memeang di pusatkan pada negara terlebih dahulu. Yang mengangkat isyu agraria masih sedikit, namun setelah kemerdekaan di proklamasikan, sejumlah pemikir sudah langsung mengembangakan gagasan mengenai arah  politik agraria kita.[9]
Pada bulan februari 1946, ketika umur RI baru enam bulan, wakil presiden Bung Hatta sudah menulis dan menyampaikannya melalui pidato tentang ekonomi indonesia di masa depan. Sekalipun isinya masih berupa lontaran gagasan, dan belum menjadi kebijakan resmi, namun fatwa Bung Hatta memang mencerminkan kehendak bersama pada pendiri Republik.
Jika di sarikan, gagagsan bung hatta itu mengandung prinsip bahwa sebagai negara agraris, maaka landasan pembangunan itu harus dimulai dari pembangunan pertanian atau pertanahan yang mencangkup agraria. Dalam hubungan ini maka harus ada prinsip yang harus dipegang yaitu:
1.      Tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan seseorang untuk menindas dan memeras hidup orang banyak.
2.      Pemilik tanah yang sangat luas oleh seseorang dimana terdapat jumlah penggarap yang besar, adalah bertentangan dengan dasar ekonomi yang adil.
3.      Perusahaan yang menggunakan tanah luas sebaiknya diatur oleh koprasi di bawah pengawasan pemerintah.[10]
Menurut hukum adat indonesia tanah itu merupakan milik masyarakat. Orang seseorang berhak menggunakannya, sebanyak yang perlu baginya dan serta keluarganya, tetapi tidak boleh menjualnya, jika tidak menggunaknnya lagi. Tanah tersebut jatuh kembali pada masyarakat yang akan membagikannya lagi kepada yang membutuhkannya.[11]
            Tanah yang dipakai untuk perkebuanan besar besar adalah milik masyarakat. Kalau perkebunan itu adalah dalam bentuk koperasi, maka koperasi itu tidak boleh memindahkan hak berusahnya.
Perusahaan yang diatas tanah tidak begitu luas dan dapat dikerjakan sendiri, boleh menjadi kepunyaan orang perseorangan. Dan apabila orang yang bersangkutan ini bergabung dalam koperasi maka tanah milik yang dibawanya tidak diusik.
            Tanah diluar kediaman hanya boleh dipandang sebagai faktor produksi saja  dan tidak menjadi obek perniagaan yang diperjual belikan semata mata untuk mencari keuntungan.
            Seharusnya tidak ada pertentangan antara masyarakat adat dan negara karena naegara adalah alat masyarakat untuk menyemurnakan keselamatan mayarakat umum. Negara harus berusaha supaya tanah yang kosong diusahakan menjadi sumber kemakmuraan rakyat . hukum privat sebagai lawan hukum publik, mestinya tidak ada di Indonesia.[12]
            Ternyata, semuanya itu bukan berhenti pada wacana, tetapi memang mencerminkan kehendak politik yang sangat tegas. Buktinya, belum ada satu tahun umur RI., pemerintah sudah melaksanakan “land reform” skala kecil dalam wilayah terbatas. Melalui Undang-Undang no.13/1946, pemerintah menghapuskan hak-hak instimewa yang dimiliki para elit desa di desa-desa “perdikan” di daerah Banyumas. Tanah-tanah mereka yang luas-luas itu dipotong separo (dengan kompensasi), untuk didistribusikan kepada petani yang tak punya tanah.[13]
            Kemudian, pada awal tahun 1948, melalui UU Darurat no.13/1948, pemerintah juga menghapuskan “hak-hak konversi” dari perusahaan-perusahaan tebu yang berada di daerah dua kesultanan Yogya dan Solo, dan tanahnya didistribusikan kepada petani tunakisma[14]
Sementara itu, meskipun masih dalam suasana gejolak revolusi, pemerintah pada tahun 1948 itu juga mulai membentuk panitia negara untuk mengembangkan pemikiran dan mempersiapkan perumusan Undang-Undang baru di bidang agraria, guna menggantikan UU Agraria Kolonial 1870 – Panitia ini dikenal sebagai Panitia Agraria Yogya. [15]
            Dalam periode demokrasi terpimpin ini, garis besar kebijakan pemerintah sangat jelas yaitu tercermin dalam semboyan: “Berdaulat dalam politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan”. Masalah pertanian diprioritaskan, dan pembaruan agraria dijadikan titik tolak sebagai landasan pembangunan. Kampanye landreform membahana. Untuk menunjang pelaksanaannya maka sejak tahun 1961 dan tahun-tahun berikutnya, dikeluarkanlah berbagai peraturan, dan dibentuk bermacam kelembagaan (Panitia Landreform, Pengadilan Land-reform, Panitia Pengukuran Desa Lengkap, dlsb.).
Pertanyaannya sekarang, jika niat pemerintah memang ingin mengembalikan semangat 1945 yang bernuansa bahwa sasaran utama “reform” itu adalah likuidasi perkebunan-perkebunan besar, mengapa akhirnya jabaran UUPA-1960 itu  diprioritaskan pada “reform” tanah pertanian rakyat di pedesaan? Jawaban pasti, belum diperoleh.
Namun dugaan adalah bahwa mengingat bahwa setelah diambil alih, hampir semua perkebunan besar saat itu berada di tangan militer, maka untuk sementara masalah perkebunan ditunda. Sebab, dalam persepsi militer (yang keliru, bahkan sampai saat ini), soal agraria itu adalah masalah yang berbau komunis.
pengungkapannya tentang karakter produk hukum bidang keagrariaan yang dirancang pada masa demokrasi liberal dan berlaku dalam 2 variasi konfigurasi politik yang berbeda yaitu periode demokrasi terpimpin dan orde baru tetapi tidak mengalami perubahan dan tetap konsisten berkarakter responsif/demokratis. Padahal jika mengacu pada asumsi dasar buku ini bahwa karakter produk hukum selalu mengikuti dan menyesuaikan dengan konfigurasi politik yang sedang ditampilkan oleh penguasa pada saat itu, harusnya UU agraria pada masa demokrasi terpimpin dan di era orde baru bercorak ortodoks/elitis/otoriter, namun tidak demikian degan UUPA. Penyimpangan atau pengecualian ini.
Menurut Prof. Mahfud dapat dijelaskan dalam 4 hal, yakni: Pertama, UUPA disahkan berdasarkan rancangan yang telah disiapkan oleh periode sebelumnya. Kedua, UUPA membongkar dasar-dasar kolonialisme yang ditentang oleh semua pemerintah Indonesia tanpa tergantung pada konfigurasi politiknya. Ketiga, UUPA memuat materi yang tidak menyangkut hubungan kekuasaan. Keempat, UUPA tidak semata-mata memuat bidang Hukum Administrasi Negara, tetapi juga memuat bidang hukum keperdataan.[16]

BAB III
PEMBAHASAN

A.    PERLINDUNGAN HAK ULAYAT MASYARAKAT ADAT TERHADAP  HUKUM TANAH NASIONAL

Tanah adalah hak dasar setiap orang yang keberadaanya dijamin dalam UUD 1945 pasal 33








[3] Undang – undang no 5 tahun 1960
[4]  Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet ke 4, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011, hlm. 1-3
[5] Ibid, hal 2
[6] Ibid, hal 4
[7] Ibid hal 5
[8] Gunawan Wiradi. politik hukum pertananian/ agraria di indonesia. makalah ringkas. Acara workshop Pertanian bertema “ tantangan dan masa depan pertanian/ agraria, cisaura, tanggal 2 mei 2005.

[9] Ibid,
[10] Ibid, hal 3
[11] Boedi harsono “ aspek yuridis penyediaan tanah dalam rangka pembangunan” (makalah tahun 1990)
[12] Ibid, hal 5-9
[13]Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, makalah pada Kerja Latihan Bantun Hukum,   LBH,  Surabaya, September, 1985.

[14]  Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet ke 4, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011, hlm.119
[15] ibid
[16] Ibid

No comments:

Post a Comment